DARWINISME TERBANTAHKAN 5(SEJARAH ALAM YANG SEBENARNYA – II)


(Burung dan Mamalia)

Terdapat ribuan spesies burung di bumi. Setiap spesies memiliki ciri-ciri khusus. Sebagai contoh, elang memiliki penglihatan yang sangat tajam, sayap lebar dan kuku tajam, sementara kolibri, dengan paruhnya yang panjang, menghisap nektar dari bunga.
Lainnya berpindah menempuh jarak jauh ke tempat-tempat tertentu di dunia. Tetapi ciri terpenting yang membedakan burung dari hewan lain adalah terbang. Sebagian besar burung memiliki kemampuan untuk terbang.
Bagaimana burung muncul? Teori evolusi mencoba memberikan jawaban dengan sebuah skenario panjang. Menurut teori ini, reptilia adalah nenek moyang burung. Sekitar 150-200 juta tahun yang lalu, burung berevolusi dari nenek moyang reptilia mereka. Burung pertama memiliki kemampuan terbang yang sangat terbatas. Kemudian, selama proses evolusi, bulu-bulu menggantikan kulit tebal dari burung primitif ini, yang pada mulanya tertutupi oleh sisik. Kaki depan mereka juga seluruhnya tertutupi oleh bulu, dan berubah menjadi sayap. Sebagai hasil dari evolusi bertahap, beberapa reptilia beradaptasi untuk terbang, dan jadilah burung seperti sekarang ini.
Skenario ini ditampilkan dalam sumber-sumber evolusi sebagai fakta yang diterima. Akan tetapi, sebuah kajian mendalam tentang rincian dan data-data ilmiahnya menunjukkan bahwa skenario ini lebih dilandaskan pada khayalan daripada kenyataan.

Asal Usul Kemampuan Terbang Menurut Evolusionis
Bagaimana reptilia, sebagai hewan darat, bisa terbang adalah sebuah persoalan yang telah menimbulkan banyak spekulasi di antara evolusionis. Ada dua teori utama. Yang pertama berpendapat bahwa nenek moyang burung turun ke tanah dari pepohonan. Akibatnya, nenek moyang ini dianggap sebagai reptilia yang hidup di atas pohon dan memiliki sayap secara bertahap ketika mereka melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Teori ini dikenal sebagai teori arboreal. Teori yang lain, teori kursorial (atau "berlari"), mengusulkan bahwa burung berkembang ke udara dari daratan.
Namun, kedua teori ini berpijak pada tafsiran spekulatif, dan tidak ada bukti yang mendukung keduanya. Para evolusionis telah membuat pemecahan sederhana bagi persoalan tersebut: mereka hanya membayangkan bahwa bukti tersebut ada. Profesor John Ostrom, Kepala Departemen Geologi pada Yale University, yang mengajukan teori kursorial, menjelaskan pendekatan ini sebagai berikut:
Tidak ada bukti fosil apapun bagi pendahulu-burung. [Adanya] pendahulu-burung ini adalah murni hipotesis ,tetapi sesuatu yang seharusnya benar-benar ada. 106
Akan tetapi, bentuk peralihan ini, yang menurut teori arboreal "seharusnya pernah hidup", tidak pernah ditemukan. Teori kursorial malah lebih bermasalah. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa kaki depan beberapa reptilia berkembang secara bertahap menjadi sayap ketika mereka mengayun-ayunkan lengan mereka untuk menangkap serangga. Akan tetapi, tidak ada penjelasan tentang bagaimana sayap, sebuah organ yang sangat kompleks, menjadi ada sebagai hasil dari ayunan lengan ini.
Salah satu permasalahan besar bagi teori evolusi adalah kompleksitas sayap yang tak tersederhanakan. Hanya sebuah desain sempurna yang bisa membuat sayap bisa berfungsi, sayap yang "setengah berkembang" tidak akan berfungsi. Dalam konteks ini, model "perkembangan bertahap"—satu-satunya mekanisme yang dirumuskan teori evolusi—tidaklah masuk akal. Karenanya Robert Carroll terpaksa mengakui bahwa, "Sulit untuk menjelaskan evolusi awal dari bulu sebagai bagian dalam perlengkapan terbang karena sulit dijelaskan bagaimana bulu-bulu tersebut bisa berfungsi hingga mereka mencapai ukuran yang besar seperti pada Archaeopteryx." 107 Kemudian ia berpendapat bahwa bulu-bulu bisa berevolusi untuk [fungsi] penghangat, tetapi hal ini tidak menjelaskan desain kompleks bulu yang terbentuk secara khusus untuk terbang.
Sayap tidak bisa tidak haruslah melekat erat dengan rangka dada, dan memiliki struktur yang bisa mengangkat burung ke atas dan membuatnya bisa bergerak ke segala arah, sekaligus bisa menjaganya tetap melayang di udara. Sayap dan bulu haruslah memiliki struktur yang ringan, lentur dan seimbang. Dalam hal ini, evolusi sekali lagi berada dalam kebuntuan. Evolusi tidak bisa menjawab pertanyaan tentang bagaimana desain tanpa cacat pada sayap ini bisa muncul sebagai hasil dari mutasi acak. Demikian pula halnya, evolusi tidak menawarkan penjelasan apa pun tentang bagaimana kaki depan reptilia berubah menjadi sayap yang sempurna sebagai akibat dari kerusakan (mutasi) di dalam gen.
Sayap yang setengah terbentuk tidak bisa terbang. Oleh karena itu, bahkan jika kita menganggap bahwa mutasi benar-benar menghasilkan perubahan kecil pada kaki depan reptilia, tetaplah tidak masuk akal untuk beranggapan bahwa mutasi selanjutnya secara kebetulan berperan dalam berkembangnya sayap yang sempurna. Itu karena mutasi pada kaki depan tidak akan menghasilkan sayap baru; sebaliknya, hal ini hanya akan menyebabkan hewan tersebut kehilangan kaki depannya. Hal ini akan menempatkannya dalam kerugian dibandingkan dengan anggota lain dari spesiesnya. Menurut kaidah teori evolusi, seleksi alam akan segera menyingkirkan makhluk cacat ini.
Menurut peneltian biofisika, mutasi adalah perubahan yang sangat jarang terjadi. Karenanya, tidak mungkin seekor hewan cacat bisa menunggu jutaan tahun agar sayapnya berkembang sempurna melalui mutasi-mutasi kecil, khususnya ketika mutasi-mutasi ini memiliki pengaruh merusak sejalan dengan waktu…
TEORI KHAYALAN, MAKHLUK KHAYALAN

Teori pertama yang diajukan evolusionis untuk menjelaskan asal usul terbang menyatakan bahwa reptil mengembangkan sayapnya sambil memburu lalat (atas); teori kedua adalah reptil menjadi burung sambil meloncat dari dahan ke dahan (kiri). Akan tetapi, tiada fosil hewan yang mengembangkan sayap secara bertahap, atau pun temuan lain yang menunjukkan bahwa kejadian ini bahkan mungkin bisa terjadi.

Burung dan Dinosaurus
Teori evolusi berpendirian bahwa burung berevolusi dari theropoda karnifora. Akan tetapi, perbandingan antara burung dan reptilia menunjukkan bahwa keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda, yang karenanya mustahil bahwa yang satu telah berevolusi dari yang lain.
Ada banyak perbedaan bentuk antara burung dan reptilia, salah satunya adalah mengenai struktur tulang. Karena badannya yang besar, dinosaurus—nenek moyang burung menurut evolusionis—memiliki tulang yang besar dan kokoh. Burung, sebaliknya, baik yang telah punah ataupun yang masih hidup, memiliki tulang berongga yang sangat ringan, yang sudah semestinya, agar bisa terbang.
Perbedaan lain antara reptilia dan burung adalah struktur metabolik mereka. Reptilia memiliki struktur metabolik yang paling lambat dalam kingdom hewan. (Pernyataan bahwa dinosaurus berdarah panas dan bermetabolisme cepat hanyalah persangkaan). Burung, di sisi lain, berada pada ujung yang berlawanan dari spektrum metabolik. Sebagai contoh, suhu tubuh burung gereja bisa meningkat hingga 48 derajat karena metabolismenya yang cepat. Sementara itu, reptilia tidak memiliki kemampuan untuk mengatur suhu tubuh mereka. Sebagai gantinya, mereka berjemur di bawah sinar matahari untuk menghangatkan diri. Secara sederhana, reptilia memakai paling sedikit energi di antara semua hewan dan burung paling banyak.
Salah satu ahli Ornitologi terkemuka di dunia, Alan Feduccia, dari University of North Carolina, menentang teori yang menyatakan bahwa burung berkerabat dengan dinosaurus, meskipun pada kenyataannya ia sendiri adalah seorang evolusionis. Feduccia menyampaikan hal berikut ini berkenaan dengan ide evolusi reptilia-burung:
Baiklah, saya telah mempelajari tengkorak burung selama 25 tahun dan saya tidak melihat adanya kesamaan sama sekali. Saya sungguh tidak melihatnya… Asal-usul burung dari theropod, menurut pendapat saya, akan menjadi hal paling memalukan bagi dunia paleontologi abad ke-20. 108
Larry Martin, seorang spesialis dalam burung purba dari University of Kansas, juga menyanggah teori bahwa burung adalah keturunan dinosaurus. Mencermati pertentangan yang ditunjukkan evolusi mengenai hal tersebut, ia menyatakan:
Sejujurnya, jika saya harus mendukung dinosaurus sebagai nenek moyang burung dengan ciri-ciri tersebut, saya akan malu setiap kali saya harus berdiri dan berbicara tentang hal ini. 109
Namun, dengan mengabaikan semua penemuan ilmiah, skenario "evolusi dinosaurus-burung" yang tidak berdasar ini masih terus digemborkan. Terbitan populer pada khususnya menyukai skenario ini. Sementara itu, gagasan yang tidak memberi dukungan apapun bagi skenario ini ditunjukkan sebagai bukti bagi "evolusi dinosaurus-burung."
Pada beberapa publikasi evolusionis, sebagai contoh, penekanan diberikan pada perbedaan antar tulang pinggul dinosaurus untuk mendukung pendapat bahwa burung berasal dari dinosaurus. Apa yang disebut perbedaan ini didapati antara kelompok dinosaurus yang disebut Saurischian (spesies mirip reptilia, dengan paha berikat) dan Ornithischian (spesies mirip burung, dengan paha berikat). Gagasan bahwa dinosaurus dengan paha berikat sebagaimana yang dimiliki burung diambil sebagai bukti atas hubungan dinosaurus-burung. Akan tetapi, perbedaan pada hip girdles sama sekali bukanlah bukti bagi pernyataan bahwa burung berevolusi dari dinosaurus. Hal ini karena dinosaurus Ornithischian tidaklah mirip dengan burung dalam ciri-ciri anatomi lainnya. Sebagai contoh, Ankylosaurus adalah seekor dinosaurus yang dikelompokkan sebagai Ornithischian, dengan kaki pendek, tubuh raksasa, dan kulit yang tertutupi sisik bagaikan perisai. Di sisi lain, Struthiomimus, yang mirip dengan burung pada beberapa ciri anatomisnya (kaki panjang, kaki depan pendek, dan stuktur yang ramping), sebenarnya adalah Saurischian. 110
Singkatnya, struktur dari hip gidle bukanlah bukti bagi hubungan evolusi antara burung dengan dinosaurus. Pernyataan bahwa dinosaurus mirip dengan burung karena hip girdles mereka mirip mengaibaikan perbedaan anatomis penting lainnya antara kedua spesies yang menjadikan hubungan evolusi antara keduanya lemah dari sudut pandang evolusionis.
Tulang dinosaurus tebal dan padat karena struktur raksasa yang dimilikinya, sebaliknya kerangka burung yang masih hidup maupun yang sudah punah berongga sehingga sangat ringan.
SISTEM KERANGKA BURUNG YANG UNIK
Tidak seperti kerangka dinosaurus dan reptil, kerangka burung berongga. Ini memberi tubuhnya kemantapan dan keringanan. Struktur kerangka burung digunakan dalam merancang pesawat terbang, jembatan, dan bangunan-bangunan mutakhir.

Struktur Unik Paru-paru Burung
Faktor lain yang menunjukkan kemustahilan dari skenario evolusi reptilia-burung adalah struktur paru-paru burung, yang tidak bisa dijelaskan oleh teori evolusi.
Pada hewan-hewan darat, aliran udara adalah dua arah. Saat menarik napas, udara mengalir melalui saluran dalam paru-paru (rongga bronkhial), berakhir pada kantung-kantung udara kecil (alveolus). Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi di sini. Kemudian, pada saat mengeluarkan napas, udara yang telah dipakai ini berbalik arah dan kembali keluar dari paru-paru melalui jalur yang sama.
Akan tetapi pada burung, [alur] udara adalah satu arah. Udara baru masuk pada ujung yang satu, dan keluar melalui ujung yang lain. Berkat kantung udara khusus di sepanjang saluran, udara selalu mengalir dalam satu arah melalui paru-paru burung. Dengan cara ini, burung mampu menghirup udara tanpa berhenti. Ini memenuhi kebutuhan energi yang tinggi dari burung. Sistem pernafasan yang istimewa ini dijelaskan oleh Michael Denton dalam bukunya A Theory in Crisis:
Pada burung, bronkhus utama terpecah menjadi saluran-saluran kecil yang menembus jaringan paru-paru. Struktur yang disebut parabronkhus ini akhirnya berhubungan satu sama lain, membentuk sistem sirkulasi yang utuh sehingga udara mengalir satu arah melalui paru-paru. ..Struktur paru-paru dari burung dan keseluruhan tata kerja sistem pernafasan ini cukup unik. Tidak ada paru-paru spesies vertebrata lain yang diketahui mendekati sistem [pernafasan] burung. Lebih jauh lagi, sistem ini dalam semua bagian utamanya adalah sama pada berbagai burung seperti kolibri, burung unta dan elang. 111

Paru-paru burung berfungsi dengan cara yang sepenuhnya berbeda dengan paru-paru hewan darat. Hewan darat menghisap dan menghembuskan udara lewat saluran yang yang sama. Sebaliknya, udara di paru-paru burung terus-menerus melalui paru-paru dalam satu arah. Ini dimungkinkan oleh kantung udara khusus sepanjang paru-paru. Berkat sistem ini, yang rinciannya bisa dilihat di halaman sebelah, burung bernapas tanpa henti. Rancangan ini khas milik burung, yang memerlukan oksigen dalam jumlah banyak ketika terbang. Struktur seperti ini mustahil muncul dari paru-paru reptil, karena makhluk apa pun dengan bentuk "peralihan" di antara kedua jenis paru-paru tak bisa bernapas.


MENGHISAP NAPAS: Udara yang memasuki saluran pernapasan burung pergi ke paru-paru, dan kantung-kantung udara di belakangnya. Udara yang digunakan dipindahkan ke kantung udara depan.
MENGHEMBUSKAN NAPAS: Ketika seekor burung menghembuskan napas, udara segar di kantung udara belakang masuk ke paru-paru. Dengan sistem ini, burung bisa menikmati pasokan sinambung udara segar ke paru-paru.

Ada banyak rincian dalam sistem paru-paru ini, yang ditunjukkan dalam bentuk yang sangat disederhanakan pada bagan-bagan di samping. Misalnya, ada katup-katup khusus tempat kantung udara menyatu ke paru-paru, yang memungkinkan udara mengalir ke arah yang benar. Semua ini menunjukkan bahwa ada rancangan yang jernih bekerja di sini. Rancangan ini tak hanya melontarkan pukulan telak terhadap teori evolusi, namun juga bukti nyata penciptaan.

Hal yang penting adalah bahwa paru-paru reptilia, dengan aliran udara dua arahnya, tidak mungkin berevolusi menjadi paru-paru burung beraliran satu arah, karena tidak mungkin ada sebuah bentuk peralihan di antara mereka. Supaya suatu hewan bisa hidup, mereka harus tetap bernafas, dan berbaliknya struktur paru-paru melalui perubahan pada desainnya tak ayal lagi akan berakhir pada kematian. Menurut teori evolusi, perubahan ini harus terjadi secara bertahap selama jutaan tahun, sementara itu hewan dengan paru-paru yang tidak bekerja akan mati dalam beberapa menit.
Ahli biologi molekuler Michael Denton, dari University of Otago di Selandia Baru, menyatakan bahwa tidak mungkin menjelaskan secara evolusi mengenai paru-paru burung:
Bagaimana suatu sistem pernafasan yang sama sekali berbeda ini dapat berevolusi secara bertahap dari desain baku vertebrata adalah sungguh-sungguh tak terbayangkan, khususnya dengan mengingat bahwa fungsi pernafasan sungguhlah vital bagi kehidupan suatu organisme hingga kegagalan terkecil dalam fungsinya akan membawa kepada kematian dalam beberapa menit. Sebagaimana bulu yang tidak bisa berfungsi sebagai suatu organ terbang sampai bagian pengait dan duri-duri kecil bulunya beradaptasi secara bersamaan untuk berkaitan secara sempurna, demikian pula paru-paru burung tidak bisa berfungsi sebagai organ pernafasan hingga sistem parabronkhus yang memenuhinya serta sistem kantung udara yang menjamin pasokan udara bagi parabronkhus benar-benar telah berkembang dan bisa berfungsi bersamaan dalam paduan yang sempurna. 112
Singkatnya, perubahan dari paru-paru darat menjadi paru-paru burung adalah mustahil, karena bentuk peralihan tidak akan bermanfaat.
Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa reptilia memiliki sistem pernafasan tipe diafragma, sedangkan burung memiliki sistem kantung udara perut bukan diafragma. Struktur yang berbeda ini juga membuat evolusi antara dua tipe paru-paru ini menjadi mustahil, seperti yang dikatakan John Ruben, seorang pakar dalam bidang fisiologi pernafasan, sebagai berikut:
Tahap paling awal dari perubahan sistem kantung udara abdominal burung dari ventilasi-diafragma pendahulunya akan memerlukan seleksi atas hernia-diafragma pada taksa peralihan antara theropoda dengan burung. Kondisi yang melemahkan itu akan segera membahayakan seluruh perangkat ventilasi paru-paru dan sepertinya sangat tidak mungkin menjadi suatu keuntungan selektif apa pun. 113
Satu lagi desain struktur menarik lain dari paru-paru burung yang menyangkal teori evolusi adalah kenyataan bahwa paru-paru burung tidak pernah kosong dari udara, dan karenanya tidak pernah dalam bahaya karena kempis. Michael Denton menjelaskan hal ini:
Bagaimana sistem pernafasan yang berbeda ini bisa berevolusi secara bertahap dari desain baku vertebrata tanpa ada semacam arah tujuan adalah, sekali lagi, sangat sulit untuk dibayangkan, khususnya mengingat bahwa pemeliharaan fungsi sistem pernafasan benar-benar vital bagi kehidupan suatu organisme. Lebih jauh lagi, fungsi dan bentuk yang unik dari paru-paru burung mengharuskan tambahan sejumlah adaptasi khusus selama perkembangan burung. Sebagaimana H. R. Dunker, salah seorang ahli dalam bidang ini, menjelaskan, karena pertama, paru-paru burung melekat dengan kokoh pada dinding tubuh dan oleh karena itu volumenya tidak bisa mengembang , dan kedua, karena diameter kapiler paru-paru yang kecil dan tingginya tekanan permukaan yang dihasilkan dari cairan apapun didalamnya, paru-paru burung tidak bisa mengembang lagi dari keadaan mengempis seperti yang terjadi pada semua vertebrata lainnya setelah lahir. Kapiler udaranya tidak pernah mengempis seperti alveolus spesies vertebrata yang lain; tetapi, saat mereka tumbuh menjadi jaringan paru-paru, parabronkhusnya sejak awal merupakan saluran terbuka yang terisi udara atau cairan. 114

Pembuluh-pembuluh parabronkhi, yang memungkinkan udara beredar dengan arah yang benar dalam paru-paru burung. Setiap pembuluh ini bergaris tengah hanya 0,5 mm.
Dengan kata lain, saluran di dalam paru-paru burung sangatlah sempit sehingga kantung udara di dalam paru-paru mereka tidak bisa penuh dengan udara dan kosong lagi, sebagaimana pada hewan darat.
Jika paru-paru seekor burung mengempis habis, burung itu tidak akan pernah bisa mengembangkannya lagi, atau paling tidak akan sangat kesulitan untuk melakukannya. Untuk alasan ini, kantung udara yang terdapat pada keseluruhan paru-paru menjadikan aliran udara yang tetap selalu mengalir, inilah yang melindungi paru-paru dari mengempis.
Tentu saja sistem ini, yang sangat berbeda dari paru-paru reptilia dan vertebrata yang lain, dan didasarkan pada keseimbangan yang amat lembut, tidak mungkin muncul dari mutasi tanpa "kesadaran", setahap demi setahap, seperti yang dinyatakan teori evolusi. Beginilah cara Denton menggambarkan struktur paru-paru burung ini, yang, sekali lagi, membantah Darwinisme:
Paru-paru burung membawa kita sangat dekat untuk menjawab tantangan Darwin: "Jika bisa ditunjukkan bahwa setiap organ kompleks yang ada, yang tidak mungkin terbentuk oleh banyak perubahan kecil bertahap, maka teori saya akan benar-benar runtuh." 115

Bulu Burung dan Sisik Reptilia
Satu lagi jurang pemisah lain antara burung dan reptilia adalah bulu, yang khas pada burung. Tubuh reptilia ditutupi oleh sisik, sedangkan burung oleh bulu. Hipotesis bahwa bulu burung telah berevolusi dari sisik reptilia adalah sama sekali tak berdasar, dan sebenarnya dibantah oleh rekaman fosil, sebagaimana yang diakui oleh ahli paleontologi evolusi Barbara Stahl:
SISIK REPTIL
Sisik-sisik yang menutupi tubuh reptil berbeda sama sekali dengan bulu burung. Tak seperti bulu, sisik tidak menjangkau ke bawah kulit, tetapi sekadar satu lapisan keras di permukaan tubuh hewan. Secara genetis, biokimiawi, dan anatomis, sisik tak memiliki kemiripan dengan bulu. Perbedaan besar di antara kedua struktur ini menunjukkan sekali lagi bahwa skenario evolusi dari reptil ke burung tidak berdasar.
Bagaimana [bulu] muncul pertama kali, yang diduga dari sisik reptilia, bertentangan dengan analisa… Nampaknya, dari konstruksi bulu yang kompleks, bahwa evolusinya dari sisik reptilia akan memerlukan satu jangka waktu yang panjang sekali dan melibatkan serentetan struktur peralihan. Sejauh ini, rekaman fosil tidak mendukung anggapan tersebut. 116

Fosil Sinosauropteryx, yang diumumkan oleh ahli paleontologi evolusi sebagai "dinosaurus berbulu," tetapi kemudian ternyata tidak demikian.
A. H. Brush, seorang professor fisiologi dan neurobiologi di University of Connecticut, menerima kenyataan ini, walaupun ia sendiri seorang evolusionis: "Setiap ciri dari struktur dan organisasi gen, hingga perkembangan, morphogenesis dan organisasi jaringan adalah berbeda [pada bulu dan sisik]." 117 Ditambah lagi, Profesor Brush mengamati struktur protein dari bulu burung dan mengatakan bahwa ia "unik di antara vertebrata yang lain." 118
Tidak satu pun fosil yang membuktikan bahwa bulu burung berevolusi dari sisik reptilia. Malah sebaliknya, bulu muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil, Profesor Brush mengamati, sebagai sifat "yang tak dapat disangkal lagi, unik" yang mencirikan burung. 119 Disamping itu, pada reptilia, belum ditemukan jaringan epidermis yang bisa menjadi titik awal bagi [munculnya] bulu burung. 120
Sejauh ini banyak fosil yang menjadi subyek dalam spekulasi "dinosaurus berbulu", tetapi kajian lebih rinci selalu menyangkal semua ini. Seorang ahli ornitologi terkemuka, Alan Feduccia, menulis sebagai berikut dalam sebuah artikel yang berjudul "On Why Dinosaurs Lacked Feathers" (Mengapa Dinosaurus Tidak Berbulu):
Bulu adalah ciri khas pada burung, dan tidak pernah ada struktur peralihan antara sisik reptilia dan bulu. Meskipun ada spekulasi apakah sisik panjang yang ditemukan pada beberapa hewan seperti Longisquama ..adalah struktur mirip bulu, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa itu adalah benar-benar bulu. 121

Desain Bulu
Disisi lain, terdapat desain yang sedemikian kompleks pada bulu burung sehingga hal ini tidak akan pernah bisa dijelaskan melalui proses evolusi. Seperti yang telah kita ketahui, terdapat batang yang memanjang di tengah bulu. Yang melekat pada batang tersebut adalah vanes. Vanes tersusun atas helaian-helaian kecil mirip-benang, yang disebut barbs. Barbs ini, dengan panjang dan kekakuan yang berbeda, adalah yang memberi burung ciri aerodinamiknya. Tetapi yang justru lebih menarik adalah bahwa setiap barbs ini memiliki ribuan benang yang lebih kecil yang melekat pada mereka yang disebut barbules. Barbules disambungkan ke barbicels, dengan kait mikroskopik mungil, yang disebut hamuli. Setiap helai terkait pada helai yang berlawanan, sangat mirip dengan kait pada resleting.
STRUKTUR RUMIT BULU BURUNG

Ketika bulu burung dipelajari lebih dekat, suatu rancangan yang rumit tampak. Bahkan ada bulu lebih halus di setiap bulu halus, dan memiliki kait-kait istimewa, yang memungkinkan bulu-bulu saling menggamit. Foto-foto menunjukkan bulu burung yang terus diperbesar.

Satu bulu burung bangau memiliki sekitar 650 barbs pada setiap sisi dari batang bulu. Sekitar 600 barbules menjadi cabang barbs. Masing-masing barbules ini berkaitan dengan 390 kait. Kait-kait tersebut terpasang seperti gigi pada resleting. Jika kaitan tersebut berpisah karena sesuatu hal, burung bisa dengan mudah mengembalikan bulu ke bentuk semula dengan menggoncang dirinya atau dengan meluruskan bulu dengan paruhnya.
Menyatakan bahwa desain yang kompleks pada bulu ini muncul dari evolusi sisik reptilia melalui mutasi acak hanyalah sebuah kepercayaan dogmatis tanpa landasan ilmiah. Bahkan salah satu dari lusinan evolusionis, Ernst Mayr, membuat pengakuan sebagai berikut beberapa tahun lalu:
Adalah pertanyaan yang patut diajukan atas kepercayaan seseorang yang berasumsi bahwa sistem yang sangat seimbang seperti organ penginderaan tertentu (mata vertebrata, atau bulu burung) bisa diperbaiki melalui mutasi acak. 122
Desain pada bulu juga mendorong Darwin untuk mengaguminya. Lebih jauh lagi, keindahan sempurna dari bulu merak telah membuat ia "sakit" (istilah dia sendiri). Dalam sebuah surat yang ditulisnya untuk Asa Gray pada 3 April 1860, ia mengatakan, "Saya ingat betul saat memikirkan mengenai mata membuat saya demam, tetapi saya telah mengatasi tahap keluhan ini.." Dan kemudian ia melanjutkan: "…dan sekarang bagian-bagian kecil tak penting dari suatu struktur sering membuat saya sangat tidak nyaman. Pemandangan bulu pada ekor merak, setiap kali saya menatapnya, membuat saya sakit!" 123
Singkatnya, perbedaan struktur yang begitu banyak antara bulu burung dengan sisik reptilia, dan desain kompleks bulu yang tak terbayangkan, dengan jelas menunjukkan tidakberlandasannya pernyataan bahwa bulu telah berevolusi dari sisik.

Kesalahpahaman tentang Archaeopteryx
Menanggapi pertanyaan apakah terdapat bukti fosil bagi "evolusi reptilia-burung," evolusionis mengajukan satu nama makhluk hidup. Dialah fosil burung yang disebut Archaeopteryx, salah satu yang dianggap sebagai bentuk peralihan yang paling dikenal luas di antara sedikit bukti yang masih dipertahankan evolusionis.
Archaeopteryx, yang disebut sebagai nenek moyang burung modern menurut evolusionis, hidup sekitar 150 juta tahun yang lalu. Teori menyebutkan bahwa beberapa dinosaurus kecil, seperti Velocariptor atau Dromaeosaurus, berevolusi dengan memperoleh sayap dan kemudian mulai mencoba untuk terbang. Begitulah, Archaeopteryx dianggap sebagai bentuk peralihan yang muncul dari nenek moyang dinosaurus dan mulai terbang untuk pertama kalinya.
Akan tetapi, kajian terbaru tentang fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak memiliki landasan ilmiah apapun. Ini sama sekali bukanlah bentuk peralihan, tetapi satu spesies burung yang telah punah, yang memiliki beberapa perbedaan tak berarti dengan burung-burung modern.
Salah satu potongan petunjuk penting bahwa Archaeopteryx itu seekor burung terbang adalah struktur bulunya yang tak-padan (asimetris). Foto salah satu sayap fosil makhluk ini.
Pendapat bahwa Archaeopteryx adalah "setengah burung" yang tidak bisa terbang dengan sempurna sangat popular di kalangan evolusionis hingga beberapa waktu yang lalu. Ketiadaan sternum (tulang dada) pada hewan ini dijadikan sebagai bukti terpenting bahwa burung ini tidak bisa terbang dengan baik. (Sternum adalah tulang yang terletak di bawah dada tempat melekatnya otot untuk terbang. Pada saat ini, tulang dada semacam ini telah teramati pada setiap burung baik yang bisa terbang ataupun tidak, dan bahkan pada kelelawar, mamalia terbang yang termasuk dalam famili yang jauh berbeda.) Akan tetapi, fosil Archaeopteryx ke tujuh, yang ditemukan pada tahun 1992, menyangkal pendapat ini. Alasannya adalah dalam penemuan fosil terbaru ini, tulang dada yang telah lama dianggap evolusionis tidak ada akhirnya ditemukan masih ada. Fosil ini digambarkan dalam jurnal Nature sebagai berikut:
Spesimen ke tujuh Archaeopteryx yang baru-baru ini ditemukan masih memiliki sebagian sternum berbentuk persegi panjang, yang telah lama diperkirakan ada tetapi tak pernah terdokumentasikan. Ini menegaskan pada keberadaan otot terbangnya, tetapi kemampuannya untuk terbang lama patut dipertanyakan. 124
Penemuan ini menggugurkan pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk setengah burung yang tidak bisa terbang dengan baik.
Ditambah lagi, struktur bulu burung ini menjadi potongan bukti terpenting yang memperkuat bahwa Archaeopteryx adalah burung yang benar-benar bisa terbang. Struktur bulu yang asimetris pada Archaeopteryx tidak bisa dibedakan dari burung modern, dan menunjukkan bahwa Archaeopteryx bisa terbang secara sempurna. Sebagai seorang ahli paleontologi terkenal, Carl O. Dunbar menyatakan, "Karena bulunya, [Archaeopteryx] secara pasti mestinya dikelompokkan sebagai burung." 125 Ahli paleontologi Robert Carroll menjelaskan permasalahan ini lebih jauh:
Bentuk geometri dari bulu-bulu terbang Archaeopteryx adalah serupa dengan burung modern yang bisa terbang, sementara burung yang tidak bisa terbang memiliki bulu-bulu yang simetris. Cara bulu-bulu ini tersusun pada sayap juga termasuk dalam kisaran burung-burung modern… Menurut Van Tyne dan Berger, ukuran dan bentuk relatif dari sayap Archaeopteryx mirip dengan yang dimiliki burung yang bergerak di antara celah-celah pepohonan, seperti burung gallinaceous, merpati, woodcocks, burung pelatuk, dan sebagian besar burung passerine … Bulu untuk terbang ini telah tidak berubah selama sedikitnya 150 juta tahun… 126
Kenyataan lain yang terungkap dari struktur bulu Archaeopteryx adalah bahwa hewan ini berdarah panas. Seperti yang telah dibahas diatas, reptilia dan dinosaurus adalah hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya naik turun mengikuti suhu lingkungannya, tidak diatur secara tetap. Satu fungsi sangat penting dari bulu burung adalah menjaga suhu tubuh agar tetap. Kenyataan bahwa Archaeopteryx memiliki bulu menunjukkan bahwa Archaeopteryx adalah benar-benar seekor burung berdarah panas yang perlu mempertahankan suhu tubuhnya, sangat berbeda dengan dinosaurus.

Gigi dan Cakar Archaeopteryx
Dua hal penting yang diandalkan oleh para ahli biologi evolusi ketika mereka menyatakan Archaeopteryx sebagai bentuk peralihan, adalah cakar pada sayap burung itu dan giginya.
Memang benar bahwa Archaeopteryx memiliki cakar pada sayapnya dan gigi pada mulutnya, tetapi ciri ini tidak berarti bahwa hewan ini memiliki hubungan dengan reptilia. Disamping itu, dua spesies burung yang hidup sekarang ini, touraco dan hoatzin, memiliki cakar yang membuat mereka bisa berpegangan pada dahan pohon. Hewan-hewan ini adalah burung sepenuhnya, tanpa ciri reptilia. Itulah sebabnya sangatlah tidak berasalan untuk menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah bentuk peralihan hanya karena cakar pada sayapnya.

Seperti Archaeopteryx, ada kuku-kuku mirip cakar pada sayap-sayap burung Opisthocomus hoazin, yang hidup di zaman kita.
Tidak pula gigi dalam paruh Archaeopteryx yang berarti bahwa hewan ini adalah bentuk peralihan. Evolusionis telah salah ketika mengatakan bahwa gigi-gigi ini adalah ciri-ciri reptilia, karena gigi bukan merupakan ciri khas dari reptilia. Saat ini, beberapa reptilia memiliki gigi sementara yang lain tidak. Lebih jauh lagi, Archaeopteryx bukanlah satu-satunya spesies burung yang memiliki gigi. Memang benar bahwa tidak ada burung bergigi yang hidup saat ini, tetapi ketika kita melihat pada rekaman fosil, kita melihat bahwa selama masa Archaeopteryx dan sesudahnya, dan bahkan hingga hampir baru-baru ini, terdapat satu kelompok burung yang bisa dikategorikan sebagai "burung dengan gigi."
Hal terpenting adalah bahwa struktur gigi Archaeopteryx dan burung-burung yang mempunyai gigi lainnya sangat berbeda dengan gigi yang dimiliki hewan yang dianggap sebagai nenek moyang mereka, yaitu dinosaurus. Ahli Ornitologi terkenal, L.D. Martin, J.D. Stewart, dan K.N. Whetstone meneliti bahwa Archaeopteryx dan burung-burung sejenis lainnya memiliki gigi tak berceruk dengan dasar sempit dan berakar luas. Sementara gigi dinosaurus theropoda, yang dianggap sebagai nenek moyang burung ini, bergerigi dengan akar yang lurus. 127 Para peneliti ini juga membandingkan tulang pergelangan kaki Archaeopteryx dengan yang dimiliki oleh hewan yang dianggap sebagai nenek moyang mereka, dinosaurus, dan tidak menemukan adanya kesamaan di antara mereka. 128
Studi yang dilakukan oleh ahli anatomi seperti S. Tarsitano, M.K. Hecht, dan A.D. Walker telah mengungkapkan bahwa beberapa persamaan yang terlihat oleh John Ostrom dan yang lainnya antara tungkai Archaeopteryx dengan dinosaurus pada kenyataannya adalah kesalahan penafsiran. 129 Sebagai contoh, A.D. Walker telah menganalisa bagian telinga dari Archaeopteryx dan menemukan bahwa ia sangat mirip dengan yang dimiliki burung-burung modern. 130
Lebih jauh lagi, J. Richard Hinchliffe, dari Institute of Biological Sciences pada University of Wales, mempelajari anatomi burung dan reptilia yang dianggap sebagai nenek moyangnya dengan menggunakan teknik isotop moderen dan menemukan bahwa tiga jari tungkai depan dari dinosaurus adalah I-II-III, sementara jari sayap burung adalah II-III-IV. Hal ini menjadi masalah besar bagi para pendukung mata rantai Archaeopteryx-dinosaurus. Hinchliffe menerbitkan kajian dan pengamatannya dalam majalah Science pada tahun 1997, di mana ia menulis:
Keraguan tentang homologi antara jari theropoda dan burung mengingatkan kita pada beberapa permasalahan dalam hipotesis "berasal dari-dinosaurus." Ini meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) Tungkai depan theropoda yang jauh lebih kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) jika dibandingkan dengan sayap Archaeopteryx. Tungkai sekecil itu tidak meyakinkan sebagai bakal sayap bagi asal mula terbang dinosaurus yang relatif besar. (ii) Jarangnya ditemukan pada theropoda tulang pergelangan semilunate, hanya diketahui pada empat spesies (termasuk Deinonychus). Kebanyakan theropoda mempunyai banyak bagian penyusun pergelangan, yang sulit untuk dicari padanannya dengan yang dimiliki Archaeopteryx. (iii) Adanya paradoks waktu karena kebanyakan dinosaurus theropoda dan khususnya domaeosaurus yang mirip burung semuanya muncul dalam rekaman fosil jauh setelah Archaeopteryx. 131
Seperti yang ditulis Hinchliffe, "paradoks waktu" adalah salah satu kenyataan yang memberikan pukulan telak pada anggapan para evolusionis tentang Archaeopteryx. Dalam bukunya Icons of Evolution, ahli biologi Amerika Jonathan Wells mengatakan bahwa Archaeopteryx telah menjadi "simbol" bagi teori evolusi, sementara bukti dengan jelas menunjukkan bahwa hewan ini bukan nenek moyang primitif burung. Menurut Wells, salah satu petunjuk dalam hal ini adalah bahwa dinosaurus theropoda—yang dianggap sebagai nenek moyang Archaeopteryx—sebenarnya lebih muda dari pada Arhcaeopteryx: "Reptilia berkaki dua yang berlari di atas tanah, dan memiliki ciri-ciri lain yang diharapkan ada pada nenek moyang Archaeopteryx, [ternyata] muncul lebih kemudian." 132
Semua penemuan ini menunjukkan bahwa Archaeopteryx bukanlah mata rantai peralihan, melainkan hanyalah sejenis burung yang termasuk dalam kelompok "burung bergigi." Menghubungkan hewan ini dengan dinosaurus theropoda sama sekali tidaklah berdasar. Dalam sebuah artikel yang berjudul "The Demise of the 'Birds Are Dinosaurs' Theory" ahli biologi Amerika Richard L. Deem menulis tentang Archaeopteryx dan pernyataan evolusi burung-dinosaurus sebagai berikut:
Hasil dari kajian terbaru menunjukkan bahwa tangan dinosaurus theropoda berasal dari jari I, II, dan III, sedangkan sayap burung, walaupun terlihat mirip dalam hal struktur, sebenarnya berasal dari jari II, III, IV… Ada permasalahan lain dengan teori "burung adalah dinosaurus." Tungkai depan theropoda lebih kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) daripada Archaeopteryx. "Bakal-sayap" yang kecil dari theropoda tidaklah begitu meyakinkan, khususnya mengingat besarnya bobot dari dinosaurus ini. Sebagian besar dari theropoda tidak memiliki tulang pergelangan semilunate, dan memiliki banyak unsur penyusun pergelangan yang lain yang tidak ada hubungan padanannya dengan tulang-tulang Archaeopteryx. Sebagai tambahan, pada hampir semua theropoda, saraf V1 keluar dari tengkorak melalui samping, bersama dengan beberapa saraf yang lain, sementara pada burung, saraf-saraf ini keluar dari depan tengkorak, melalui lubang khusus. Ada juga permasalahan kecil karena sebagian besar theropoda muncul setelah kemunculan dari Archaeopteryx. 133

Archaeopteryx dan Fosil Burung Purba Lainnya
Beberapa fosil yang baru ditemukan juga menyangkal skenario evolusionis berkenaan dengan Archaeopteyx dalam sisi yang lain.
Lianhai Hou dan Zhonghe Zhou, dua ahli paleontologi di Chinese Institute of Vertebrate Paleontology, menemukan fosil burung baru pada tahun 1995, dan menamakannya Confuciusornis. Fosil ini hampir seumur dengan Archaeopteryx (sekitar 140 juta tahun), tetapi tidak memiliki gigi dalam mulutnya. Selain itu, paruh dan sayapnya memiliki struktur yang sama dengan burung masa kini. Confuciusornis memiliki struktur rangka yang sama dengan burung modern, tetapi juga memiliki cakar pada sayapnya, sama seperti Archaeopteryx. Struktur lainnya yang khas pada burung yang disebut "pigostil," yang menopang bulu-bulu ekor, juga ditemukan pada Confuciusornis. 134 Singkatnya, fosil ini—yang seumur dengan Archaeopteryx, yang sebelumnya dianggap sebagai burung pertama dan diterima sebagai semi-reptilia—terlihat sangat mirip dengan burung modern. Kenyataan ini telah menggugurkan semua pemikiran evolusionis yang menyatakan Archaeopteryx sebagai nenek moyang primitif dari semua burung. .

Confuciusornis, yang hidup di zaman yang sama dengan Archaeopteryx, memiliki banyak kemiripan dengan burung masa kini.
Satu lagi fosil yang tergali di Cina menimbulkan kebingungan yang lebih besar lagi. Pada November 1996, adanya burung yang berumur 130 juta tahun yang disebut Liaoningornis diumumkan di majalah Science oleh L. Hou, dan Alan Feduccia. Liaoningornis memiliki tulang dada tempat melekatnya otot-otot untuk terbang, sama seperti pada burung modern135 Burung ini tidak bisa dibedakan dari burung modern dalam hal yang lain juga. Satu-satunya perbedaan adalah adanya gigi dimulutnya. Ini menunjukkan bahwa burung dengan gigi tidak memiliki struktur primitif seperti anggapan para evolusionis. Bahwa Liaoningornis memiliki ciri-ciri burung modern dinyatakan dalam sebuah artikel pada majalah Discover, yang mengatakan, "Kapankah burung muncul? Fosil ini menunjukkan bahwa bururng tidaklah berasal dari stok dinosaurus." 136
Fosil lain yang membantah pernyataan evoluisionis berkenaan dengan Archaeopteryx adalah Eoalulavis. Struktur sayap Eoalulavis, yang dikatakan 25 sampai 30 juta tahun lebih muda dari Archaeopteryx, juga teramati pada burung modern yang terbang-lambat. 137 Ini membuktikan bahwa 120 juta tahun yang lalu, terdapat burung yang tidak bisa dibedakan dengan burung modern dalam banyak hal, terbang di udara.
Kenyataan ini sekali lagi menunjukkan dengan pasti bahwa baik Archaeopteryx maupun burung purba lain yang mirip dengannya bukanlah bentuk peralihan. Fosil-fosil ini tidak menunjukkan bahwa spesies burung yang berbeda berevolusi dari satu sama lain. Sebaliknya, rekaman fosil membuktikan bahwa burung modern masa kini dan beberapa burung purba seperti Archaeopteryx sebenarnya hidup pada saat yang sama. Memang benar bahwa beberapa dari spesies burung ini, seperti Archaeopteryx dan Confuciusornis, telah punah, tetapi kenyataan bahwa hanya beberapa spesies yang pernah hidup masih mampu bertahan hidup hingga saat ini tidak dengan sendirinya mendukung teori evolusi.

Archaeoraptor: Bualan Burung-Dino
Tidak mampu menemukan apa yang mereka cari dari Archaeopteryx, para penganjur teori evolusi menggantungkan harapan mereka pada fosil lain pada tahun 1990 dan sejumlah laporan yang disebut fosil "burung-dino" muncul di media-media Internasional. Belakangan diketahui bahwa pernyataan ini hanyalah kesalahan penafsiran, atau lebih buruk lagi, pemalsuan.
Pernyataan burung-dino pertama adalah cerita tentang "fosil dinosaurus berbulu ditemukan di Cina," yang terjadi pada tahun 1996 dengan liputan media yang menghebohkan. Sebuah fosil reptilia yang disebut Sinosauropteryx telah ditemukan, tetapi beberapa ahli paleontolgi yang menguji fosil tersebut mengatakan bahwa fosil ini memiliki bulu-bulu burung, tidak seperti reptilia modern. Pengujian yang dilakukan setahun kemudian, akan tetapi, menunjukkan bahwa fosil ini sebenarnya tidak memiliki struktur yang mirip dengan bulu burung. Sebuah artikel dalam Science yang berjudul "Mencabuti Dinosaurus Berbulu" menyatakan bahwa struktur yang dinamakan "sayap" oleh ahli paleontologi evolusionis secara pasti tidak ada hubungannya dengan bulu:
Tepat setahun yang lalu, ahli paleontologi dikejutkan dengan sebuah foto "dinosaurus berbulu," yang diedarkan ke seluruh aula pada pertemuan Perkumpulan Paleontologi Vertebrata. Spesimen Sinosauropteryx dari fosmasi Yixian di Cina ini dimuat pada halaman depan New York Times, dan telah digambarkan oleh beberapa orang sebagai menegaskan asal usul burung dari dinosaurus. Tetapi pada pertemuan Paleontologi Vertebrata di Chicago tahun ini akhir bulan lalu, kesimpulan yang diambil sedikit berbeda. Struktur tersebut bukanlah sayap modern, kata sekitar setengah lusin ahli paleontologi barat yang telah melihat spesimen tersebut. …Ahli paleontologi Larry Martin dari Kansas University, Lawrence, berpikir bahwa struktur tersebut adalah serat kolagen yang tercerabut di bawah kulit—dan karenanya tidak ada hubungannya dengan burung. 138
Kasus yang lebih sensasional dari burung-dino muncul pada tahun 1999. Pada edisi November 1999, National Geographic menurunkan sebuah artikel tentang spesimen fosil yang tergali di Cina yang dinyatakan memiliki ciri-ciri burung dan dinosaurus. Penulis National Geographic, Christopher P. Sloan, penulis artikel tersebut, melangkah demikian jauh dengan menyatakan, "kita sekarang bisa mengatakan bahwa burung adalah theropoda dengan keyakinan yang sama ketika kita mengatakan bahwa manusia adalah mamalia." Spesies ini, yang dikatakan pernah hidup 125 juta tahun yang lalu, segera diberi nama ilmiah Archaeoraptor liaoningensis. 139

Pencapaian besar National Geographic, "burung dino" yang sempurna. Archaeoraptor segera ternyata sebuah penipuan. Semua calon "burung dino" lainnya bersifat duga-dugaan.
.
Akan tetapi, fosil ini adalah palsu dan telah dengan terampil disusun dari lima spesimen yang terpisah. Sekelompok peneliti, di antara mereka terdapat tiga orang ahli paleontologi, membuktikan pemalsuan ini setahun kemudian dengan bantuan tomography hasil perhitungan dengan sinar X. Burung-dino sebenarnya adalah hasil kerja para evolusionis Cina. Para amatir Cina menyusun burung-dino dengan menggunakan lem dan semen dari 88 tulang dan batu. Peneliti menduga bahwa Archaeoraptor dibentuk dari bagian depan rangka burung purba, sedangkan tubuh dan tulang ekornya diambil dari empat spesimen yang berbeda.
Menariknya, National Geographic menurunkan sebuah artikel penting tentang pemalsuan kasar semacam itu—dan lebih jauh lagi, menggunakannya sebagai dasar pernyataan bahwa skenario "evolusi burung" telah terbukti—tanpa menunjukkan sedikitpun keraguan atau kehati-hatian dalam artikel tersebut. Dr. Storrs Olson, dari Smithsonian Institute Natural History Museum yang terkenal di Amerika, kemudian mengatakan bahwa ia sebelumnya telah memperingatkan National Geographic bahwa fosil ini adalah palsu, tetapi pihak manajemen majalah tidak menghiraukannya. Menurut Olson, "National Geographic" telah mencapai masa suramnya dengan menganut jurnalisme tabloid yang sensasional dan tidak terbukti kebenarannya. "140
Dalam sebuah surat yang ditulisnya kepada Peter Raven dari National Geographic, Olson menggambarkan dengan sangat rinci cerita sebenarnya dari "dinosaurus bersayap", yang menjadi bahan pembicaraan sejak dipublikasikannya dalam sebuah artikel pada National Geographic tahun 1998:
Sebelum penerbitan artikel "Dinosaurus Memperoleh Sayap" dalam National Geographic edisi Juli 1998, Lou Mazzatenta, fotografer untuk artikel Sloan, mengundang saya ke Perkumpulan National Geographic untuk membahas fotonya atas fosil-fosil dari Cina dan untuk memberi komentar pada sudut pandang yang diberikan pada cerita. Pada saat itu, saya mencoba menyampaikan kenyataan yang mendukung kuat pandangan yang berbeda dengan apa yang akan dimunculkan oleh National Geographic, tetapi akhirnya jelaslah bagi saya bhawa National Geographic tidak tertarik pada apapun selain dogma umum bahwa burung telah berevolusi dari Dinosaurus.
Artikel Sloan menempatkan prasangka pada tataran baru dan sebagian besar mengandung informasi yang tidak terbukti atau tak terdokumentasikan yang sekedar "membuat" berita daripada melaporkannya. Pernyataan dangkalnya bahwa "sekarang kita bisa dengan yakin mengatakan bahwa burung adalah theropoda sama yakinnya dengan kita mengatakan bahwa manusia adalah mamalia" bahkan tidak tampak sebagai cerminan dari pandangan sebagian ilmuwan atau sekelompok ilmuwan, jadi ia menggambarkan tidak lebih dari sekedar propaganda editorial. Pernyataan yang dibesar-besarkan ini telah disangkal oleh kajian terbaru embriologi dan morfologi perbandingan, yang mana tentunya, tidak pernah diberitakan.
Akan tetapi yang lebih penting lagi, tidak satupun struktur-struktur yang digambarkan dalam artikel Sloan sebagai bulu memang benar-benar terbukti sebagai bulu. Mengatakan bahwa itu adalah bulu tidak lebih dari sekedar harapan yang dihadirkan sebagai kenyataan. Pernyataan pada halaman 103 bahwa "struktur berongga, mirip rambut mencirikan bakal-bulu" adalah mengada-ada mengingat bahwa bakal-bulu hanya ada sebagai gagasan teoritis, jadi struktur internalnya pun lebih merupakan perkiraan saja.
Propaganda tentang dinosaurus bersayap yang dipamerkan pada acara Perkumpulan National Geographic bahkan lebih buruk, dan membuat pernyataan palsu yang menyatakan bahwa ada bukti kuat bahwa berbagai dinosaurus karnivora memiliki sayap. Sebuah model dari dinosaurus sejati Deinonychus dan ilustrasi dari bayi tyrannosaurus digambarkan tertuptup bulu, yang kesemuanya hanyalah imajinasi belaka dan tidak memiliki tempat di luar fiksi ilmiah.
Hormat saya,

Storrs L. Olson
Kurator Burung
National Museum of Natural History
Smithsonian Institution 141
Kasus yang membuka mata ini menampakkan dua kenyataan penting. Pertama, ada orang yang tidak merasa ragu mengambil jalan pemalsuan dalam upaya menemukan bukti bagi teori evolusi. Kedua, beberapa jurnal ilmiah populer ternama, yang telah mengambil misi untuk menanamkan teori evolusi kepada masyarakat, tidak segan-segan mengenyampingkan berbgai fakta yang mungkin tidak sesuai atau mempunyai penafsiran lain. Demikianlah, mereka telah menjadi tidak lebih dari sekedar alat propaganda untuk menyebarkan teori evolusi. Mereka tidak mengambil sikap ilmiah, tetapi dogmatis, dan dengan sadar melecehkan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan teori evolusi yang sangat mereka yakini.
Sisi penting lainnya dari permasalahan ini adalah bahwa tidak ada bukti bagi gagasan bahwa burung telah berevolusi dari dinosaurus. Karena kurangnya bukti, bukti palsu pun dibuat, atau bukti sebenarnya disalahtafsirkan. Pada kenyataannya, tidak ada bukti bahwa burung telah berevolusi dari spesies hidup lainnya. Sebaliknya, semua penemuan menunjukkan bahwa burung telah muncul di muka bumi lengkap dengan struktur tubuh mereka yang khas.
PETUNJUK TERAKHIR: PENELITIAN TENTANG BURUNG UNTA MEMBANTAH CERITA
BURUNG DINO

Dr. Feduccia: Kajian terbarunya cukup untuk mengubur dongeng "burung dino"
Pukulan terbaru bagi teori "burung berevolusi dari dinosaurus" datang dari kajian tentang embriologi burung unta.
Dr. Alan Feduccia dan Julie Nowicki dari University of North Carolina di Chapel Hill mempelajari sejumlah telur burung unta hidup dan, sekali lagi menyimpulkan bahwa mustahil ada hubungan evolusi antara burung dan dinosaurus. EurekAlert, sebuah portal ilmiah yang dikelola oleh AAAS (American Association for the The Advancement of Science), melaporkan yang berikut:
Dr. Alan Feduccia dan Julie Nowicki dari University of North Carolina di Chapel Hill... membuka sederetan telur burung unta hidup pada berbagai tahap perkembangan dan menemukan yang mereka yakini sebagai bukti bahwa burung tak mungkin berasal dari dinosaurus...
Apa pun moyang burung-burung, ia harus berjari lima, bukan berjari tiga seperti dinosaurus teropoda," ia [Feduccia] mengatakan..."Para ilmuwan setuju bahwa dinosaurus mengembangkan ‘tangan’ dengan satu, dua, dan tiga jari... Akan tetapi, penelitian kami atas janin burung unta, menunjukkan secara meyakinkan bahwa pada burung, hanya jari-jari kedua, ketiga, dan keempat, yang pada manusia setara dengan jari kelingking, jari tengah, dan jari manis, berkembang, dan kami mempunyai foto-foto yang membuktikannya", kata Feduccia, seorang profesor dan mantan ketua jurusan biologi di UNC. "Ini menciptakan masalah baru bagi mereka yang bersikeras bahwa dinosaurus adalah moyang burung-burung masa kini." Misalnya, bagaimanakah bisa tangan burung yang berjari dua, tiga, dan empat, muncul dari tangan dinosaurus yang hanya berjari satu, dua, dan tiga ? Itu hampir mustahil." 1
Dalam laporan yang sama, Dr. Freduccia juga membuat ulasan penting tentang ketaksahihan—dan kedangkalan—teori "burung berevolusi dari dinosaurus":
"Ada masalah-masalah yang tak terpecahkan dengan teori itu," ia [Dr. Feduccia] mengatakan.. "Di luar yang telah kami laporkan, ada masalah waktu dalam hal dinosaurus yang di permukaan mirip burung hidup sekitar 25-80 juta tahun setelah burung tertua yang diketahui, yang berumur 150 juta tahun."
Jika tulang ayam dan tulang dinousaurus diamati lewat mikroskop, keduanya terlihat sama, tetapi pengamatan yang dekat dan rinci menyingkapkan banyak sekali perbedaan, kata Feduccia. Misalnya, dinousaurus teropoda bergigi melengkung dan seperti gergaji, namun burung tertua bergigi lurus mirip pasak, bukan gergaji. Keduanya juga mempunyai cara berbeda untuk penanaman dan pergantian gigi." 2
Petunjuk ini sekali lagi mengungkapkan bahwa ribut-ribut "burung dino" hanyalah "ikon" lain Darwinisme: dongeng yang didukung hanya demi keyakinan dogmatis kepada teori itu.

1 - David Williamson, "Scientit Says Ostrich Study Confirms Bird ‘Hands’ Unlike those of Dinosaurs," EurekAlert, 14 Agustus 2002, http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php
2 - David Williamson, "Scientit Says Ostrich Study Confirms Bird ‘Hands’ Unlike those of Dinosaurs," EurekAlert, 14 Agustus 2002, http://www.eurekalert.org/pub_releases/2002-08/uonc-sso081402.php

Asal Usul Serangga
Dalam pembahasan asal usul burung, kami menyebutkan teori kursorial yang diajukan oleh ahli biologi evolusi. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, pertanyaan bagaimana reptilia menumbuhkan sayap melibatkan spekulasi tentang "reptilia yang mencoba menangkap serangga dengan kaki depan mereka." Menurut teori ini, kaki depan reptilia tersebut seiring dengan waktu secara perlahan berubah menjadi sayap saat mereka mencoba berburu serangga.

Tiada perbedaan antara fosil lipas yang berumur 320 juta tahun dengan spesimen yang hidup sekarang..
Kita telah tekankan bahwa teori ini tidak berpijak pada penemuan ilmiah sama sekali. Tetapi ada sisi menarik lain dari hal ini, yang belum kita sentuh sebelumnya. Lalat sejak awal sudah bisa terbang. Jadi bagaimana mereka memperoleh sayap? Dan secara umum, apa asal mula serangga, yang mana lalat hanyalah satu kelompok di dalamnya?
Dalam pengelompokan makhluk hidup, serangga membentuk satu subfilum, yaitu Insecta, dari filum Arthropoda. Fosil serangga tertua berasal dari Jaman Devonian (410 hingga 360 juta tahun yang lalu). Pada Jaman Pennsylvanian yang mengikutinya (325 sampai 286 juta tahun yang lau), terjadi kemunculan besar-besaran sejumlah spesies serangga. Sebagai contoh, kecoak muncul secara tiba-tiba, dan dengan struktur yang sama seperti yang ada saat ini. Betty Faber, pada American Museum of Natural History, melaporkan bahwa fosil kecoa dari 350 juta tahun yang lalu adalah sama persis dengan kecoak yang hidup saat ini. 142
Binatang seperti laba-laba, kutu, dan kaki seribu bukanlah serangga, tetapi termasuk subfilum lain dari Arthropoda. Penemuan penting fosil dari binatang-binatang ini dilaporkan pada pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science tahun 1983. Hal yang menarik dari fosil laba-laba, kutu dan kelabang berumur 380 juta tahun ini, adalah kenyataan bahwa mereka tidak berbeda dengan spesimen hidup saat ini. Salah satu ilmuwan yang menguji fosil tersebut menyebutkan, "mereka terlihat seperti baru mati kemarin." 143
Serangga bersayap juga muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil, dan dengan semua ciri khas mereka. Sebagai contoh, sejumlah besar fosil capung dari Jaman Pennsylvanian telah ditemukan. Dan capung-capung ini memiliki struktur yang sama persis dengan capung yang ada saat ini.

Luing Acantherpestes major ini, yang ditemukan di Kansas, Amerika Serikat, berumur sekitar 300 juta tahun, dan tak berbeda dengan luing masa kini. Fosil lalat yang berumur 145 juta tahun. Fosil yang ditemukan di Liaoning, Cina ini serupa dengan lalat dari spesies yang sama yang hidup sekarang.

Semua serangga bersayap muncul tiba-tiba dalam catatan fosil, dan sejak itu, semuanya telah berstruktur sempurna sama seperti saat ini. Fosil capung yang berumur sekitar 320 juta tahun di atas dikatakan sebagai spesimen tertua dan tak berbeda dengan capung yang hidup saat ini. Tiada "evolusi" telah terjadi.
Satu hal menarik di sini adalah kenyataan bahwa capung dan lalat muncul secara tiba-tiba, bersama-sama dengan serangga tak bersayap. Ini menyangkal teori bahwa serangga tak bersayap mengembangkan sayap dan berevolusi secara bertahap menjadi serangga yang bisa terbang. Dalam salah satu artikel mereka dalam buku Biomechanics in Evolution, Robin Wootton dan Charles P. Ellington mengatakan hal sebagai berikut:
Ketika fosil serangga pertama muncul, pada [Jaman] Carboniferous Tengah dan Atas, mereka telah beragam dan sebagian besar memiliki sayap yang sempurna. Ada sebagian kecil bentuk primitif tak bersayap, tetapi tidak ditemukan adanya bentuk peralihan yang meyakinkan. 144
Sala satu ciri umum dari lalat, yang muncul secara tiba-tiba dalam rekaman fosil, adalah teknik terbang mereka yang mengagumkan. Sementara manusia tidak mampu membuka dan menutup lengan mereka 10 kali sedetik, rata-rata lalat mampu mengepakkan sayap 500 kali dalam rentang waktu tersebut. Lebih jauh lagi, lalat menggerakkan kedua sayapnya secara bersamaan. Sedikit saja ketidaksesuaian pada getaran sayapnya akan menyebabkan lalat kehilangan keseimbangan, tetapi hal ini tak pernah terjadi.
Dalam sebuah artikel berjudul "The Mechanical Design of Fly Wings," Wootton lebih jauh menerangkan:
Semakin kita mengerti fungsi dari sayap serangga, semakin terlihat lembut dan indah desain pada mereka… Struktur biasanya dirancang untuk berubah bentuk sekecil mungkin; mekanisme biasanya dirancang untuk menggerakkan bagian-bagian penyusunnya dalam gerakan yang dapat diperkirakan. Sayap serangga menyatukan keduanya, menggunakan komponen dengan bermacam-macam sifat kelenturan, yang terakit dengan sempurna untuk memungkinkan perubahan bentuk yang tepat sebagai respon atas gaya yang tepat dan untuk memanfaatkan udara sebaik mungkin. Mereka memiliki sedikit, jika ada, teknologi yang menyamainya. 145
Tentunya kemunculan tiba-tiba dari makhluk hidup dengan desain sesempurna ini tidak bisa dijelaskan dengan penjelasan evolusionis manapun. Itulah sebabnya mengapa Pierre-Paul Grassé mengatakan, "Kita berada di dalam kegelapan mengenai asal usul serangga." 146 Asal usul serangga dengan jelas membuktikan fakta penciptaan.

Asal usul Mamalia

Fosil lalat, terjebak dalam ambar 35 juta tahun yang lalu. Fosil ini ditemukan di pantai Laut Baltik, juga tak berbeda dengan lalat hidup di zaman kita.
Seperti yang telah kami utarakan sebelumnya, teori evolusi mengajukan gagasan bahwa beberapa makhluk khayalan muncul dari laut berubah menjadi reptilia, dan bahwa burung berevolusi dari reptilia. Menurut skenario yang sama, reptilia bukan hanya nenek moyang bangsa burung, tetapi juga mamalia. Akan tetapi, terdapat perbedaan besar antara dua kelompok ini. Mamalia adalah hewan berdarah panas (ini berarti mereka bisa menghasilkan panas tubuh sendiri dan menjaganya pada tataran yang tetap), mereka melahirkan, menyusui anak mereka, dan tubuh mereka ditutupi oleh bulu kulit atau rambut. Reptilia, disisi lain, adalah hewan berdarah dingin (artinya, mereka tidak bisa menghaslkan panas tubuh sendiri, dan suhu tubuh mereka berubah mengikuti suhu lingkungan luar), mereka bertelur, tidak menyusui anak mereka, dan tubuh mereka ditutupi oleh sisik.
Dengan semua perbedaan ini, lalu, bagaimana reptilia mulai mengatur suhu tubuh mereka sendiri dan memperoleh mekanisme berkeringat untuk memungkinkan menjaga suhu tubuh mereka sendiri? Apakah mungkin reptilia mengganti sisik dengan bulu atau rambut dan mulai menghasilkan susu? Sebelum teori evolusi menjelaskan asal usul mamalia, teori ini harus memberikan jawaban ilmiah atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Namun, ketika kita melihat sumber-sumber evolusionis, kita menemukan skenario yang benar-benar khayalan dan tidak ilmiah, atau jika tidak, sebuah kebungkaman. Salah satu skenario ini adalah sebagai berikut:
Beberapa reptilia di daerah dingin mulai mengembangkan cara untuk menjaga kehangatan tubuh mereka. Keluaran panas tubuh mereka meningkat ketika dingin dan hilangnya panas tubuh mereka kurangi ketika sisik-sisik menjadi lebih kecil dan memanjang, dan berevolusi menjadi rambut. Berkeringat adalah salah satu adaptasi untuk menjaga suhu tubuh, suatu perlengkapan untuk mendinginkan tubuh ketika dibutuhkan melalui penguapan air. Namun suatu ketika reptilia muda ini mulai menjilati keringat dari induknya sebagai makanan. Kalenjar keringat tertentu mulai mengeluarkan zat-zat yang semakin bermanfaat, yang pada akhirnya menjadi susu. Akhirnya anak-anak mamalia awal ini mempunyai kesempatan hidup yang lebih baik. 147
Kutipan diatas tidak lebih dari khayalan belaka. Skenario fantastis seperti ini tidak hanya tidak didukung oleh bukti, ini juga jelaslah tidak mungkin. Sangat tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa makhluk hidup menghasilkan nutrisi sedemikian kompleks seperti susu dengan menjilati keringat tubuh induknya.

Tiada perbedaan antara lusinan fosil mamalia yang berumur jutaan tahun di museum sejarah alam dan mamalia yang hidup sekarang. Lebih lagi, fosil-fosil ini muncul tiba-tiba, tanpa kaitan dengan spesies yang telah punah.

Alasan mengapa skenario seperti ini diajukan adalah kenyataan bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara reptilia dan mamalia. Salah satu contoh dari rintangan struktural antara reptilia dengan mamalia adalah struktur rahang mereka. Rahang mamalia hanya mempunyai satu tulang mandibular tempat melekatnya gigi. Pada reptilia, terdapat tiga tulang kecil pada kedua sisi mandibula. Sat perbedaan mendasar lainnya adalah bahwa semua mamalia memiliki tiga tulang pada telinga bagian tengah mereka (tulang martil, tulang sanggurdi, dan tulang landasan). Reptilia hanya memiliki satu tulang pada telinga bagian tengah. Evolusionis menyatakan bahwa rahang reptilia dan telinga bagian tengah berevolusi secara bertahap menjadi rahang dan telinga mamalia. Pertanyaan bagaimana telinga dengan satu tulang berevolusi menjadi telinga dengan tiga tulang, dan bagaimana indera pendengaran tetap berfungsi saat perubahan terjadi tidaklah pernah bisa dijelaskan. Tidak mengherankan, tidak ditemukan satu fosil pun yang menghubungkan reptilia dengan mamalia. Inilah sebabnya mengapa penulis ilmiah terkenal evolusionis, Roger Lewin, terpaksa mengatakan, "Peralihan menjadi mamalia pertama, …masih merupakan teka-teki." 148
George Gaylord Simpson, salah seorang pakar terpenting evolusi dan seorang pendiri teori neo-Darwinis, berkenaan dengan kesulitan yang membingungkan para evolusionis membuat komentar sebagai berikut:
Peristiwa yang paling membingungkan dalam sejarah kehidupan di muka bumi adalah perubahan dari Mesozoic, Jaman Reptilia, ke Jaman Mamalia. Seakan-akan tirai diturunkan secara mendadak untuk menutup panggung di mana seluruh peran utama dimainkan oleh reptilia, terutama dinosaurus, dalam jumlah besar dan keragaman yang menakjubkan, dan kemudian dinaikkan kembali untuk memperlihatkan panggung yang sama tetapi dengan susunan pemain yang sepenuhnya baru, di mana dinosaurus tidak muncul sama sekali, dan reptilia lain hanya sebagai figuran, dan semua peran utama dimainkan berbagai jenis mamalia yang hampir tidak pernah disinggung dalam babak-babak sebelumnya. 149
Lebih jauh lagi, ketika mamalia secara tiba-tiba muncul, mereka telah sangat berbeda satu sama lain. Hewan yang sedemikian berbeda seperti kelelawar, kuda, tikus dan paus adalah mamalia, dan mereka semua muncul selama rentang geologis yang sama. Membuat suatu hubungan evolusi di antara mereka adalah mustahil bahkan dengan khayalan yang luas sekalipun. Ahli zoologi evolusionis, R. Eric Lombard menjelaskan hal ini dalam sebuah artikel yang muncul pada jurnal Evolution:
Mereka yang mencari informasi khusus yang berguna untuk membangun pohon kekerabatan mamalia akan kecewa. 150
Singkatnya, asal usul mamalia, seperti kelompok organisme yang lain, gagal bersesuaian dengan teori evolusi dalam cara apapun. George Gaylord Simpson mengakui kenyataan tersebut bertahun-tahun yang lalu:
Ini berlaku benar bagi 32 ordo mamalia… Anggota termuda dan paling primitif dari setiap ordo [dari mamalia] telah memiliki ciri dasar aslinya, dan dalam hal apapun tidak merupakan urutan yang berkelanjutan dari satu ordo ke ordo yang lain. Kadang kala perbedaan ini begitu tajam dan celahnya begitu besar sehingga asal usul ordo lebih bersifat spekulatif dan sering diperdebatkan… Ketiadaan bentuk peralihan yang sudah biasa ini tidak terbatas pada mamalia, tetapi ini adalah fenomena yang hampir universal, yang telah lama teramati oleh para ahli paleontologi. Ini berlaku pada hampir semua kelas hewan, baik vertebrata maupun invertebrata… ini berlaku pada kelompok kelas, dan pada filum utama hewan, dan sepertinya berlaku juga pada pengelompokan yang sepadan dalam dunia tumbuh-tumbuhan. 151

Mitos Evolusi Kuda
Satu subyek penting dalam asal-usul mamalia adalah mitos tentang "evolusi kuda," yang juga merupakan sebuah topik yang padanya publikasi evolusionis memberi perhatian luas untuk kurun waktu yang lama. Ini adalah sebuah mitos, karena lebih didasarkan pada khayalan daripada temuan ilmiah.
Hingga baru-baru ini, urutan imajiner yang dimaksudkan untuk menggambarkan evolusi kuda telah dimajukan sebagai bukti fosil utama bagi teori evolusi. Akan tetapi saat ini, banyak evolusionis sendiri dengan jujur mengakui bahwa skenario evolusi kuda telah runtuh. Pada tahun 1980, sebuah simposium empat hari digelar di Field Museum of Natural History di Chicago, dengan kehadiran 150 evolusionis, untuk membahas permasalahan teori evolusi bertahap. Dalam sambutannya pada pertemuan ini, evolusionis Boyce Rensberger memberi catatan bahwa skenario evolusi kuda tidak memiliki landasan dalam rekaman fosil, dan tidak ada proses evolusi yang telah teramati yang mampu menjelaskan evolusi kuda secara bertahap:
Contoh populer dari evolusi kuda, menunjukkan urutan perubahan bertahap dari hewan berkuku-empat seukuran-rubah yang hidup sekitar 50 juta tahun yang lalu menjadi kuda masa kini yang lebih besar dan berkuku-satu, telah lama diketahui keliru. Bertentangan dengan perubahan bertahap, fosil dari setiap spesies peralihan muncul dengan sangat berbeda, tidak berubah bentuk, dan kemudian menjadi punah. Bentuk peralihan tidak diketahui. 152
Sementara membahas dilema penting dalam skenario evolusi kuda ini, dengan sangat jujur, Rensberger membawa permasalahan bentuk peralihan ini ke dalam pembahasan sebagai permasalahan terbesar.
Ahli paleontologi terkenal Colin Patterson, direktur dari Natural History Museum di London, tempat diagram "evolusi kuda" sedang dipamerkan pada saat itu di lantai dasar museum, mengatakan hal berikut ini tentang pajangan tersebut:
Telah begitu banyak cerita, sebagian lebih imajinatif daripada yang lain, tentang bagaimanakah sebenarnya sejarah [kehidupan] itu,. Contoh yang paling terkenal, masih dipamerkan di lantai bawah, adalah skema evolusi kuda yang dibuat barangkali 50 tahun lalu. Hal itu telah dihadirkan sebagai kebenaran harfiah dalam berbagai buku acuan. Kini, saya pikir itu perlu disesali, terutama jika mereka yang mengajukan cerita semacam itu sendiri menyadari adanya hal yang masih spekulatif pada sebagian skema tersebut. 153
Lalu, apa yang mendasari skenario evolusi kuda? Skenario ini dirumuskan melalui diagram yang menipu yang dibuat dengan mengurutkan fosil-fosil spesies yang berbeda yang hidup pada jaman yang sangat berlainan di India, Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Eropa, melulu hanya berdasarkan daya imajinasi evolusionis yang kaya . Lebih dari 20 skema evolusi kuda, yang sebenarnya sama sekali berbeda satu sama lain, telah diajukan oleh berbagai peneliti. Jadi, jelaslah bahwa evolusionis tidak mencapai kesepakatan dalam hal silsilah ini. Satu-satunya persamaan di antara skema ini adalah keyakinan bahwa makhluk seukuran anjing yang disebut Eohippus (Hyracotherium), yang pernah hidup pada Jaman Eocene 55 juta tahun yang lalu, adalah nenek moyang kuda. Namun demikian, kenyataannya adalah bahwa Eohippus, yang telah punah jutaan tahun yang lalu, sangat mirip dengan hyrax, hewan kecil mirip kelinci yang masih hidup di Afrika dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kuda. 154
Ketidakkonsistenan dari teori evolusi kuda semakin bertambah jelas sejalan dengan semakin banyaknya penemuan-penemuan fosil. Fosil dari spesies kuda modern (Equus nevadensis dan Equus occidentalis) telah ditemukan pada lapisan yang sama dengan Eohippus. 155 Ini adalah petunjuk bahwa kuda modern dan hewan yang dikatakan nenek moyangnya hidup pada waktu yang sama.

Evolusi kuda yang ditampilkan di Museum Sejarah Alam di London. Bagan ini dan bagan "evolusi kuda" lainnya menunjukkan spesies mandiri yang hidup pada zaman dan tempat berbeda, dibariskan dengan penyajian yang sangat sepihak. Padahal, tidak ada penemuan ilmiah tentang evolusi kuda.

Penulis ilmiah evolusionis Gordon R. Taylor menjelaskan kebenaran yang jarang diakui ini dalam bukunya, The Great Evolution Mysteri:
Namun barangkali kelemahan yang paling serius dari Darwinisme adalah kegagalan ahli paleontologi untuk menemukan filogeni yang meyakinkan atau urutan dari organisme yang memperlihatkan perubahan evolusi besar… Kuda sering dirujuk sebagai satu-satunya contoh yang lengkap. Tetapi kenyataannya adalah bahwa silsilah dari Eohippus ke Equus sangatlah tidak bisa diandalkan. Silsilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan pertambahan ukuran yang berurutan, tetapi sejatinya sebagian malah lebih kecil dari Eohippus, tidak lebih besar. Spesimen-spesimen dari berbagai sumber bisa disusun dalam sebuah urutan yang terlihat meyakinkan, tetapi tidak terdapat bukti kalau sebenarnya mereka berada dalam urutan seperti itu pada masa [hidupnya]. 156
Semua kenyataan ini adalah bukti kuat bahwa skema evolusi kuda, yang dihadirkan sebagai salah satu bukti paling kokoh bagi Darwinisme, tidak lain hanyalah dongeng fantastik dan tidak masuk akal. Seperti spesies lainnya, kuda juga muncul tanpa nenek moyang dalam pengertian evolusi.

Asal usul Kelelawar
Salah satu makhluk paling menarik dalam kelas mamalia, tak diragukan lagi, adalah sang mamalia terbang, kelelawar.

Sistem sonar kelelawar lebih peka dan berdaya guna daripada sistem sonar hasil teknologi yang telah dikembangkan sejauh ini.
Di puncak urutan ciri khas kelelawar adalah sistem "sonar" kompleks yang mereka miliki. Berkat ini, kelelawar bisa terbang dalam kegelapan yang pekat, tidak bisa melihat apapun, tetapi mampu melakukan gerakan yang sangat sulit. Mereka bahkan bisa mengindera dan menangkap seekor ulat di lantai ruangan yang gelap.
Sonar kelelawar bekerja sebagai berikut. Binatang ini secara terus menerus memancarkan aliran sinyal suara berfrekuensi tinggi, mencerna pantulan dari sinyal suara ini, dan sebagai hasilnya membentuk gambaran detail mengenai lingkungan di sekitarnya. Lebih jauh lagi, ia mampu melakukan semua ini dengan kecepatan yang luar biasa, terus menerus dan tidak pernah keliru sambil terbang di udara.
Penelitian pada sistem sonar kelelawar bahkan telah menelurkan hasil yang lebih mengejutkan. Kisaran frekuensi yang bisa didengar binatang ini sangat sempit, dengan kata lain kelelawar hanya bisa mendengar suara dengan frekuensi tertentu, yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan yang sangat penting. Karena suara yang menumbuk benda bergerak berubah frekuensinya ("efek Doppler" yang terkenal itu), saat kelelawar mengirim sinyal pada seekor lalat, katakanlah, yang bergerak menjauh darinya, gelombang suara yang dipantulkan dari lalat seharusnya memiliki frekuensi yang berbeda yang tidak bisa didengar oleh kelelawar. Karena alasan ini, kelelawar seharusnya mengalami kesulitan besar dalam mengindera benda-benda yang bergerak.
Namun hal ini tidak terjadi. Kelelawar masih saja mampu menangkap segala jenis binatang kecil yang bergerak cepat tanpa kesulitan sama sekali. Alasannya adalah bahwa kelelawar mengatur frekuensi gelombang suara yang dikirimnya ke benda yang bergerak dalam lingkungannya seolah-olah ia paham betul tentang efek Doppler. Sebagai contoh, kelelawar mengirim sinyal suara berfrekuensi tinggi ke arah seekor lalat yang bergerak menjauh darinya, jadi pada saat sinyal tersebut kembali, frekuensinya tidak berada di bawah ambang batas pendengaran binatang ini.
Lalu bagaimana pengaturan ini terjadi?
Ada dua kelompok neuron (sel saraf) dalam otak kelelawar yang mengatus sistem sonar. Salah satunya menerima pantulan gelombang ultrasonik, dan satu lagi memberikan instruksi pada otot-otot untuk menghasilkan suara pemantul lokasi. Bagian-bagian dalam otak ini bekerja bersama, sedemikian rupa hingga jika frekuensi dari pantulan berubah, bagian pertama merasakan hal ini, dan memperingatkan bagian yang satu lagi, membuatnya mampu mengubah frekuensi dari suara yang dikeluarkan berdasarkan pantulan tersebut. Alhasil, frekuensi suara ultrasonik kelelawar berubah sesuai dengan lingkungannya, dan sistem sonar sebagai satu kesatuan digunakan dengan seefisien mungkin.

Fosil kelelawar tertua yang diketahui, ditemukan di Wyoming, Amerika Serikat. Berumur 50 juta tahun, tiada perbedaan antara fosil ini dengan kelelawar hidup masa kini.

Tidak mungkin kita menutup mata pada pukulan telak yang diberikan sistem sonar kelelawar atas teori evolusi bertahap melalui mutasi acak. Ini adalah struktru yang sangat kompleks, dan tidak mungkin dihasilkan oleh mutasi secara kebetulan. Supaya sistem ini berfungsi sepenuhnya, semua penyusunnya harus bekerja sama dengan sempurna sebagai satu kesatuan. Adalah tidak masuk akal untuk mempercayai bahwa sistem sedemikian terpadu ini bisa dijelaskan dengan kebetulan; Sebaliknya, kenyataan ini sebenarnya menunjukkan bahwa kelelawar diciptakan tanpa cacat.
Bahkan rekaman fosil juga mendukung bahwa kelelawar mucul secara tiba-tiba dan dengan struktur kompleks seperti yang ada saat ini. Dalam bukunya Bats: A Natural History, ahli paleontologi evolusi John E. Hill dan James D. Smith mengungkap kenyataan ini dalam pengakuannya sebagai berikut:
Rekaman fosil dari kelelawar ditemukan hingga dari awal Eocene… dan telah didokumentasikan… pada lima benua … Semua fosil kelelawar, bahkan yang tertua sekalipun, jelaslah merupakan kelelawar yang telah berkembang sepenuhnya dan mereka tidak banyak memberi petunjuk atas peralihan dari hewan darat nenek moyang mereka. 157
Dan ahli paleontologi evolusi, L. R. Godfrey, dalam hal yang sama berkata sebagai berikut:
Ada beberapa fosil kelelawar Jaman Tersier Awal yang terawetkan dengan baik, seperti Icaronycteris index, tetapi Icaronycteris tidak menunjukkan apapun tentang evolusi terbang pada kelelawar karena ia adalah kelelawar terbang yang sempurna. 158
Ilmuwan evolusionis, Jeff Hecht, mengakui permasalahan yang sama pada sebuah artikel New Scientist tahun 1998:
Asal usul kelelawar telah menjadi teka-teki. Bahkan fosil kelelawar paling awal, dari sekitar 50 juta tahun yang lalu, telah memiliki sayap yang benar-benar mirip dengan kelelawar moderen. 159
Singkatnya, sistem tubuh kompleks kelelawar ini tidak mungkin muncul melalui mekanisme evolusi, dan rekaman fosil menunjukkan bahwa hal semacam itu tidak terjadi. Sebaliknya, kelelawar pertama yang muncul di muka bumi adalah sama persis dengan yang ada saat ini. Kelelawar selalu ada sebagai kelelawar.

Asal usul Mamalia Laut

Mamalia laut mempunyai sistem yang benar-benar khas. Sistem ini dirancang dengan cara terbaik bagi lingkungan tempat makhluk-makhluk ini hidup.
Paus dan lumba-lumba termasuk dalam kelompok mamalia laut yang dikenal sebagai Cetacea. Makhluk ini dikelompokkan sebagai mamalia karena, sebagaimana mamalia darat, mereka melahirkan dan merawat anak mereka, mereka memiliki paru-paru untuk bernafas, dan mereka mengatur suhu tubuh mereka sendiri. Bagi evolusionis, asal usul mamalia laut telah menjadi salah satu permasalahan tersulit untuk dijelaskan. Dalam berbagai sumber evolusionis, dinyatakan bahwa nenek moyang cetacea meninggalkan daratan dan kemudian berevolusi menjadi mamalia laut dalam kurun waktu yang lama. Berdasarkan hal ini, mamalia laut menempuh jalur yang bertentangan dengan peralihan dari air ke darat, dan menjalani proses evolusi ke dua, kembali ke air. Kedua teori ini tidak memiliki bukti paleontologis dan saling bertentangan. Karenanya, evolusionis telah bungkam dalam permasalahan ini untuk waktu yang lama.
Akan tetapi, publikasi evolusinis tentang mamalia laut muncul secara besar-besaran pada tahun 90-an, dinyatakan sebagai berlandaskan atas beberapa penemuan fosil baru pada tahun 80-an seperti Pakicetus dan Ambulocetus. Mamalia daratan berkaki empat yang telah punah ini diakui sebagai nenek moyang paus dan karenanya banyak sumber evolusionis tanpa ragu-ragu menyebutnya sebagai "paus berjalan." (Bahkan nama lengkapnya, Ambulocetus natans, berarti "paus yang berjalan dan berenang.") Indoktrinasi evolusionis dengan cara populer semakin mengada-adakan cerita ini. Edisi November 2001 National Geographic akhirnya mengumumkan keseluruhan skenario evolusionis mengenai "evolusi paus."
Meskipun demikian, skenario tersebut dilandasi oleh prasangka evolusionis, bukan dengan bukti ilmiah.

Mitos Paus Berjalan
Sisa fosil mamalia yang telah punah Pakicetus inachus, demikianlah namanya yang tepat, pertama muncul dalam agenda di tahun 1983. P. D. Gingerich dan asistennya, yang menemukan fosil tersebut, tanpa keraguan segera menyatakan bahwa bahwa ini adalah "paus primitif," meskipun sebenarnya mereka hanya menemukan sebuah tengkorak.
Namun fosil tersebut benar-benar tidak memiliki hubungan apapun dengan paus. Kerangkanya ternyata merupakan hewan berkaki empat, mirip dengan serigala biasa. Ia ditemukan di daerah yang penuh bijih besi, dan mengandung fosil hewan daratan seperti keong, kura-kura, dan buaya. Dengan kata lain, fosil ini merupakan bagian dari sebuah lapisan daratan, bukan lapisan laut.
Lalu, mengapa seekor hewan darat berkaki empat dikatakan sebagai "paus primitif" dan mengapa ia tetap ditampilkan seperti itu oleh sumber-sumber evolusionis seperti National Geographic? Majalah ini memberikan jawaban sebagai berikut:
Apa yang menyebabkan ilmuwan menyatakan makhluk ini adalah paus? Petunjuknya kecil dalam kombinasi—susunan gigi gerahamnya, lipatan pada tulang telinga bagian tengah, dan kedudukan tulang telinga dalam tengkorak—tidak terdapat pada mamalia daratan lainnya tetapi merupakan ciri paus jaman Eocene Akhir. 160
Dengan kata lain, berdasarkan pada beberapa bagian kecil gigi dan tulang telinganya, National Geographic merasa bisa menggambarkan hewan darat berkaki empat mirip srigala ini sebagai "paus berjalan." Namun demikian, ciri-ciri ini bukanlah bukti kuat untuk dijadikan dasar bagi hubungan antara Pakicetus dengan paus:
  • Seperti yang juga secara tidak langsung dinyatakan oleh National Geographic ketika menulis "petunjuk kecil dalam kombinasi," sebenarnya beberapa ciri ini ditemukan juga pada hewan-hewan darat.
Penyimpangan Dalam Reka-ulang National Geographic
Ahli paleontologi percaya bahwa Pakicetus adalah mamalia berkaki empat. Struktur kerangka di gambar kiri, yang disiarkan majalah Nature, memperlihatkan dengan jelas hal ini. Jadi, reka-ulang Pakicetus (kiri bawah) oleh Carl Buell, yang didasarkan pada struktur itu, sesuai dengan kenyataan.
Akan tetapi, National Geographic memilih menggunakan sebuah gambar Pakicetus "berenang" (bawah) dengan maksud melukiskan hewan ini sebagai "paus berjalan" dan menanamkan citra itu kepada para pembacanya. Kesenjangan gambar yang dimaksudkan untuk membuat Pakicetus lebih terlihat "mirip paus" segera tampak: hewan itu ditampilkan dalam sikap "berenang." Kaki-kaki belakangnya digambarkan sedang mengayuh, dan kesan "sirip" telah diberikan.
Reka-ulang Pakicetus oleh National Geographic.
Ambulocetus-nya National Geographic: tungkai belakang hewan ini digambarkan bukan dengan tungkai bawah yang mendukung berjalan, tetapi sebagai sirip yang akan membantunya berenang. Akan tetapi, Carroll, yang mengamati tulang-tulang tungkai itu, mengatakan hewan ini berkemampuan bergerak cepat di daratan.
Ambulocetus yang sebenarnya: tungkainya benar-benar tungkai, bukan "sirip," dan tiada selaput khayalan di antara jari-jari kakinya sebagaimana telah ditambahkan National Geographic. (Gambar dari buku Carroll: Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, h. 335).
  • Tidak satu pun dari ciri-ciri yang dipertanyakan ini adalah bukti bagi suatu hubungan evolusi. Bahkan evolusionis mengakui bahwa hubungan teoritis yang dibangun atas dasar kemiripan anatomi antar binatang sama sekali tidak dapat dipercaya. Jika serigala Tasmania marsupial dan serigala biasa yang menyusui keduanya telah punah sejak dahulu kala, maka tak diragukan lagi para evolusionis akan menggambarkan mereka dalam takson yang sama dan menyatakan mereka sebagai kerabat yang sangat dekat. Akan tetapi, kita tahu bahwa dua hewan yang berbeda ini, walaupun secara anatomi terlihat serupa, sebenarnya sangat berjauhan satu sama lain dalam pohon kekerabatan evolusi. (Sesungguhnya kemiripan mereka menunjukkan persamaan desain—bukan persamaan nenek moyang.) Pakicetus, yang diumumkan evolusionis sebagai "paus berjalan," adalah spesies unik yang memiliki ciri-ciri khusus pada tubuhnya. Carrol, seorang pakar dalam paleontologi vertebrata, menggambarkan keluarga Mesonychild, yang mana Pakicetus seharusnya menjadi salah satu anggotanya, sebagai "memperlihatkan gabungan unik dari berbagai ciri." 161
Dalam artikelnya "The Overselling of Whale Evolution," seorang penulis kreasionis Ashby L. Camp mengungkap benar-benar tidak sahnya pernyataan bahwa kelas Mesonychid, yang seharusnya meliputi mamalia darat seperti Pakicetus, bisa jadi adalah nenek moyang Archaeocetea, atau paus punah, sebagai berikut:
Alasan evolusionis yakin bahwa Mesonychid menurunkan Archaeoceta, meskipun tidak mampu menunjukkan spesies apapun dalam garis keturunannya, adalah bahwa Mesonychid dan Archaeoceta yang dikenal memiliki beberapa kemiripan. Akan tetapi, kemiripan ini tidak cukup menyelesaikan masalah garis keturunan ini, khususnya mengingat perbedaannya yang sangat besar. Subyektifitas dari perbandingan seperti ini jelas terlihat dari fakta begitu banyaknya kelompok mamalia dan bahkan reptilia yang telah diusulkan sebagai nenek moyang paus. 162
Fosil kedua setelah Pakicetus dalam skenario asal usul paus adalah Ambulocetus natans. Fosil ini sebenarnya adalah hewan darat yang para evolusionis bersikeras telah berubah menjadi paus.
Nama Ambulocetus natans diambil dari bahasa latin "ambulare" (berjalan), "cetus" (paus) dan "natans" (berenang), dan berarti "seekor paus yang berjalan dan berenang." Jelaslah hewan ini mampu berjalan karena memiliki empat kaki, seperti semua mamalia yang lain, dan bahkan cakar lebar pada kakinya dan jari-jari pada tungkai belakangnya. Akan tetapi, terlepas dari prasangka evolusionis, sebenarnya tidak ada landasan sama sekali bagi pernyataan bahwa ia berenang di air, atau hidup baik di darat dan di air (seperti amfibia).
Setelah Pakicetus dan Ambulocetus, rancangan evolusionis terus berlanjut pada apa yang disebut mamalia laut dan mengajukan spesies (paus punah) seperti Procetus, Rodhocetus, dan Archaeocetea. Hewan-hewan ini adalah mamalia yang dulunya hidup di laut dan sekarang telah punah. (Kita akan membahas hal ini kemudian.) Akan tetapi, terdapat perbedaan anatomi nyata antara spesies-spesies ini dengan Pakicetus dan Ambulocetus. Ketika kita melihat fosil-fosil ini, jelaslah bahwa mereka bukanlah "bentuk peralihan" yang berhubungan satu sama lain:
  • Tulang belakang mamalia berkaki empat Ambulocetus berakhir pada tulang pelvis, dan kaki belakang yang kuat bermula dari sini. Ini adalah ciri dasar anatomi mamalia darat. Aka tetapi pada paus, tulang belakang memanjang hingga ke ekor, dan tidak ada tulang pelvis sama sekali. Kenyataannya, Basilosaurus, yang dipercaya pernah hidup sekitar 10 juta tahun setelah Ambulocetus, memiliki anatomi seperti yang terakhir. Dengan kata lain, ini adalah paus biasa. Tidak ada bentuk peralihan antara Ambulocetus, seekor mamalia darat, dan Basilosaurus, seekor paus.
  • Di bawah tulang belakang Basilosaurus dan paus biru, terdapat tulang-tulang kecil yang terpisah. National Geographic menyatakan bahwa tulang ini adalah sisa kaki. Namun majalah yang sama menyebutkan bahwa tulang ini sebenarnya memiliki fungsi lain. Pada Basilosaurus, tulang ini berfungsi sebagai pemandu kopulasi dan pada paus biru "[bertindak] sebagai tempat melekat otot organ genitalia." 163 Menggambarkan tulang ini, yang sebenarnya melaksanakan fungsi penting, sebagai "organ sisa" tidak lain hanyalah prasangka Darwinis.
Kesimpulannya, mengenyampingkan propaganda evolusionis, kenyataanya tetap tidak berubah bahwa tidak terdapat bentuk peralihan antara mamalia darat dan laut dan bahwa keduanya telah muncul dengan ciri-ciri mereka masing-masing. Tidak ada hubungan evolusi. Robert Carroll menerima hal ini, meskipun tidak secara tegas dan dalam bahasa evolusionis: "Tidak mungkin menemukan satu urutan dari mesonychild yang secara langsung menghasilkan paus." 164
Meskipun ia seorang evolusionis, pakar paus terkenal Russia, G. A. Mchedlidze, juga tidak mendukung penggambaran Pakicetus, Ambulocetus natans, dan binatang berkaki empat yang serupa sebagai "nenek moyang paus yang mungkin," dan [sebaliknya] menggambarkan mereka sebagai kelompok yang sama sekali berbeda. 165

Masalah Urutan yang Dikira-kira
Seiringan dengan fakta yang telah kita bahas di atas, tanggal-tanggal yang diberikan oleh National Geographic pada spesies-spesies tadi telah dipilih sejalan dengan prasangka Darwinis. Hewan-hewan ini diperlihatkan saling bermunculan dalam sebuah garis geologis, meskipun hal ini masih bisa dipertanyakan. Ashby L. Camp menjelaskan situasi ini, berdasarkan data peleontologis:
Dalam skema baku, Pakicetus inachus dinyatakan berasal dari Jaman Ypresian Akhir, tetapi sebagian ahli berpendapat bahwa hewan ini mungkin berasal dari Lutetian Awal. Jika tanggal yang lebih muda (Lutetian Awal) diterima, maka Pakicetus adalah hampir, jika tidak sebenarnya, sejaman dengan Rodhocetus, fosil Lutetia Awal dari lapisan lain di Pakistan. Lebih jauh lagi, masa hidup Ambulocetus, yang ditemukan pada lapisan yang sama dengan Pakicetus tetapi 120 meter lebih atas, seharusnya dikoreksi menjadi lebih muda sebagaimana Pakicetus. Hal ini akan membuat Ambulocetus lebih muda daripada Rodhocetus dan mungkin lebih muda daripada Indocetus dan bahkan Protocetus. 166
Singkatnya, terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai kapan hewan-hewan yang oleh National Geographic secara kronologis dimunculkan berurutan satu sama lain benar-benar hidup. Jika pandangan ke dua diterima, maka Pakicetus dan Ambulocetus, yang digambarkan oleh National Geographic sebagai "paus berjalan," berada pada jaman yang sama, atau bahkan yang lebih muda daripada paus sebenarnya. Dengan kata lain, tidak ada mungkin ada "alur evolusi".

Takhayul Evolusionis Berbau Lamarckisme yang Mengejutkan
Satu masalah penting lainnya mengenai asal usul mamalia laut adalah perbedaan anatomis dan fisiologis yang besar antara mereka dan hewan darat yang diakui sebagai nenek moyang mereka. Evolusionis beranggapan bahwa proses setahap demi setahap terjadi pada setiap peralihan, tetapi ini adalah gagasan yang tidak masuk akal karena banyak dari sistem yang sedang dibahas ini merupakan struktur kompleks yang tak tersederhanakan yang tidak mungkin terbentuk secara setahap demi setahap.
Mari kita pikirkan satu saja contoh: struktur telinga. Seperti kita, mamalia darat menangkap suara dari luar melalui telinga luar, memperkuatnya dengan tulang-tuland dalam telinga bagian tengah, dan merubahnya menjadi sinyal dalam telinga bagian dalam. Mamalia laut tidak memiliki telinga luar. Mereka mendengar suara melalui penerima getaran yang peka dalam rahang bagian bawah. Hal terpenting adalah bahwa setiap evolusi secara bertahap antara satu sistem telinga yang sempurna ke sistem pendengaran lain yang sangat berbeda adalah mustahil. Tahap-tahap perubahannya tidak akan menguntungkan. Seekor hewan yang secara perlahan kehilangan kemampuan mendengar dengan telinganya, tetapi masih belum juga mengembangkan kemampuan mendengar melalui rahangnya, akan berada dalam kerugian.
Pertanyaan bagaimana "perkembangan" semacam ini bisa muncul adalah suatu dilema yang tak terpecahkan bagi evolusionis. Mekanisme yang diajukan evolusionis adalah mutasi dan ini tidak pernah terlihat menambahkan informasi baru dan berarti bagi informasi genetik hewan tersebut. Tidaklah beralasan untuk menyatakan bahwa sistem pendengaran yang kompleks pada mamalia laut ini bisa muncul sebagai hasil mutasi.
Tetapi evolusionis sungguh mempercayai skenario yang tidak masuk akal ini dan masalah ini berpangkal pada semacam takhayul mengenai asal usul makhluk hidup. Takhayul ini adalah "kekuatan alam" ajaib yang membuat makhluk hidup memperoleh organ, perubahan biologis, atau sifat anatomis yang mereka butuhkan. Mari kita perhatikan beberapa bagian menarik dari artikel "Evolusi Paus" dalam National Geographic:
…Saya mencoba membayangkan berbagai ragam nenek moyang paus yang telah ditemukan di daerah ini dan sekitarnya… Sejalan dengan mengecilnya kaki belakang, mengecil pula tulang pinggul yang menopang mereka. Hal ini membuat tulang belakang menjadi lebih lentur untuk menghentakkan ekor yang sedang berkembang. Lehernya memendek, merubah ujung depan tubuh menjadi lebih berbentuk tabung yang meruncing untuk menembus air dengan gesekan minimum, sementara lengan berubah bentuk seperti kayuh. Karena sudah tidak begitu memerlukan telinga luar lagi, beberapa paus menerima suara yang merambat dalam air langsung melalui rahang bawah mereka dan mengirimkannya ke telinga bagian dalam melalui lapisan lemak khusus. Setiap paus dalam urutan ini sedikit lebih ramping daripada model sebelumnya dan menjelajah lebih jauh dari pantai. 167
Dilihat lebih dekat, dalam seluruh penjelasan ini mental evolusionis mengatakan bahwa makhluk hidup merasakan perubahan kebutuhan sesuai dengan perubahan lingkungan tempat mereka tinggal, dan kebutuhan ini dianggap sebagai "mekanisme evolusi." Berdasarkan logika ini, organ yang tidak terlalu diperlukan mulai menghilang, dan organ yang dibutuhkan muncul sesuai dengan keinginan mereka sendiri!
Siapa saja dengan pengetahuan biologi sekecil apapun akan tahu bahwa kebutuhan kita tidak membentuk organ kita. Sejak teori Lamarck tentang pewarisan sifat dapatan ke generasi berikutnya terbukti keliru, dengan kata lain telah satu abad atau lebih, hal tersebut merupakan fakta yang dikenal. Namun ketika seseorang mengamati publikasi evolusionis, mereka terlihat masih berpikir sealur dengan Lamarck. Jika Anda menggugat hal ini, mereka akan mengatakan "Tidak, kita tidak percaya pada Lamarck. Yang kami katakan adalah bahwa kondisi alamiah memberi tekanan evolusi pada makhluk hidup, dan bahwa akibatnya, sifat yang cocok akan terseleksi, dan dengan cara inilah spesies berevolusi." Namun di sinilah titik kritisnya: Apa yang disebut evolusionis sebagai "tekanan evolusi" tidak bisa menjadikan makhluk hidup memperoleh sifat-sifat baru sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini karena dua hal yang disebut sebagai mekanisme evolusi yang dianggap merespon tekanan ini, seleksi alam dan mutasi, tidak bisa menghasilkan organ baru bagi hewan:
  • Seleksi alam hanya bisa menyeleksi sifat-sifat yang telah ada, ia tidak bisa menciptakan sifat-sifat baru.
  • Mutasi tidak bisa menambahkan informasi genetis baru, ia hanya bisa merusak yang sudah ada. Tidak ada mutasi yang telah teramati yang menambahkan informasi yang sama sekali baru dan berarti ke dalam genom (dan karena itu membentuk organ atau struktur biokimia baru).
Jika kita melihat sekali lagi pada mitos National Geographic tentang paus berjalan yang janggal berdasarkan fakta ini, kita akan melihat bahwa mereka sebenarnya menganut Lamarckisme yang masih primitif. Melihat lebih dekat, penulis National Geographic, Douglas H. Chadwick "menggambarkan" bahwa "Setiap paus dalam urutan adalah sedikit lebih ramping daripada model sebelumnya." Bagaimana satu perubahan morfologis bisa terjadi pada suatu spesies dari generasi ke generasi dalam satu arah tertentu? Supaya hal itu bisa terjadi, perwakilan dari spesies dalam setiap "urutan"tersebut haruslah mengalami mutasi untuk memendekkan lengan mereka, mutasi ini haruslah tidak membahayakan hewan tersebut, jadi mutan tersebut haruslah memperoleh suatu keuntungan di atas yang normal, generasi berikutnya, secara sangat kebetulan, haruslah mengalami mutasi serupa pada titik yang sama dari gennya, hal ini haruslah berlangsung tanpa perubahan dari generasi ke generasi, dan semua hal di atas haruslah terjadi secara kebetulan dan cukup lancar.
Jika seorang penulis National Geographic mempercayai hal tersebut, tentunya mereka juga akan percaya pada seseorang yang mengatakan: "Keluarga saya senang terbang. Putra saya mengalami suatu mutasi dan bentukan kecil seperti bulu burung tumbuh di bawah lengannya. Cucu saya akan mengalami mutasi yang sama dan bulu tersebut akan bertambah. Hal ini akan terjadi dari generasi ke generasi, dan akhirnya keturunan saya akan mempunyai sayap dan bisa terbang." Kedua cerita tersebut sama-sama tidak masuk akal.
Seperti yang telah kami sebutkan pada bagian awal, evolusionis memperlihatkan cerita khayal bahwa kebutuhan makhluk hidup bisa dipenuhi oleh sebuah kekuatan ajaib di alam. Penetapan adanya kehendak pada alam, sebuah kepercayaan yang ditemukan dalam kebudayaan animisme, dengan menarik muncul kepermukaan di depan mata kita pada abad ke-21 dibalik kedok "ilmiah." Henry Gee, editor majalah Nature dan seorang evolusionis terkemuka yang tak perlu dipertanyakan lagi, menunjukkan fakta yang sama dan mengakui bahwa menjelaskan asal usul sebuah organ karena dibutuhkannya organ tersebut adalah seperti mengatakan:
...hidung kita dibuat untuk menopang kacamata, maka jadilah kita memiliki kacamata. Maka ahli biologi evolusi pun melakukan hal yang sama ketika mereka menjelaskan [asal usul] setiap struktur sebagai hasil adaptasi pada kegunaannya yang sekarang namun pada saat yang sama gagal untuk mengakui bahwa kebutuhan akan kegunaan yang sekarang tidak menjelaskan kepada kita tentang bagaimana sebuah struktur berevolusi, atau tentu saja bagaimana sejarah evolusi sebuah struktur itu sendiri bisa mempengaruhi bentuk dan sifat dari struktur tersebut. 168

Struktur Khas Mamalia Laut
Untuk melihat kemustahilan dari skenario evolusionis pada mamalia laut, mari kita telaah secara singkat beberapa ciri khas lainnya dari hewan ini. Ketika adaptasi yang harus terjadi pada mamalia darat agar berevolusi menjadi mamalia laut ditelaah, bahkan kata "mustahil" pun kelihatannya tidak cukup. Selama perubahan seperti itu, bahkan jika salah satu dari tahapan peralihan gagal terjadi, makhluk tersebut tidak akan bisa bertahan hidup, dan ini akan mengakhiri keseluruhan proses tersebut. Adaptasi yang harus dijalani mamalia laut selama peralihan ke air adalah sebagai berikut:
1. Penyimpanan-air: Tidak seperti hewan laut lainnya, mamalia laut tidak bisa menggunakan air laut untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Mereka butuh air segar untuk bertahan hidup. Meskipun informasi yang kita miliki tentang sumber air segar bagi mamalia laut terbatas, diyakini bahwa mereka memakan organisme yang mengandung kadar garam relatif rendah (sekitar sepertiga dari air laut). Oleh karena itu, bagi mamalia laut, peyimpanan air dalam tubuh mereka sangatlah penting. Itulah sebabnya mengapa mereka memiliki mekanisme penyimpanan air yang mirip dengan yang dimiliki unta. Seperti unta, mamalia laut tidak berkeringat; akan tetapi, ginjal mereka berfungsi secara sempurna, menghasilkan urine teramat pekat yang membuat mereka mampu menghemat air. Dengan cara ini, kehilangan air dicegah hingga batas minimum. Desain dari penyimpanan air ini bisa terlihat bahkan pada hal-hal kecil. Sebagai contoh, induk paus memberi makan anaknya dengan susu yang berbentuk padat seperti keju. Susu ini mengandung sepuluh kali lebih banyak lemak dibandingkan susu manusia. Terdapat beberapa alasan kimiawi mengapa susu ini mengandung begitu banyak lemak. Air dikeluarkan pada saat anak paus mencerna susu. Dengan cara ini, induk mereka bisa memenuhi kebutuhan air anaknya tetapi dengan sedikit mungkin kehilangan air.
2. Penglihatan dan komunikasi: Mata lumba-lumba dan paus menjadikan mereka memiliki penglihatan yang sangat tajam pada lingkungan yang berbeda-beda. Mereka mimiliki penglihatan sempurna di air dan juga di luar air. Sedangkan hampir semua makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki penglihatan yang terbatas di luar lingkungan alamiah mereka. Mata mamalia laut dan darat canggihnya sedemikian mengagumkan. Di darat, mata menghadapi sejumlah potensi bahaya. Itulah mengapa mata hewan darat memiliki kelopak untuk melindunginya. Di lautan, ancaman terbesar bagi mata datang dari kadar garam yang tinggi dan tekanan arus. Untuk menghindari tumbukan langsung dengan arus, mata ditempatkan di sisi kepala. Sebagai tambahan, suatu lapisan keras melindungi mata hewan yang menyelam hingga amat dalam. Mata mamalia laut dilengkapi dengan piranti canggih yang membuat mereka mampu melihat di ke dalaman laut di mana hanya terdapat sedikit cahaya. Sebagai contoh, lensa mereka benar-benar bulat bentuknya, sementara pada retina mereka, sel batang (sel yang sensitif terhadap cahaya) jauh lebih banyak daripada sel kerucut (sel yang sensitif terhadap warna dan detil). Lebih jauh lagi, mata cetacea juga mengandung sebuah lapisan fosfor, yang juga membantu mereka melihat dengan baik khususnya dalam kegelapan.
Meskipun demikian, penglihatan bukanlah kemampuan indera terpenting dari mamalia laut. Mereka mengandalkan indera pendengaran lebih dari yang biasanya dilakukan mamalia darat. Cahaya adalah utama bagi penglihatan, sementara pendengaran tidak memerlukan bantuan semacam itu. Banyak paus dan lumba-lumba berburu di ke dalaman laut yang sama sekali gelap dengan menggunakan mekanisme sonar yang mereka miliki. Paus bergigi, khususnya, "melihat" dengan gelombang suara. Sebagaimana yang terjadi dengan gelombang cahaya pada sistem penglihatan, gelombang suara difokuskan untuk kemudian dianalisa dan dicerna di otak. Ini memberikan informasi akurat bagi cetacea berkenaan dengan bentuk, ukuran, kecepatan dan kedudukan dari benda di depannya. Sistem sonar ini benar-benar peka—sebagai contoh, seekor lumba-lumba bisa merasakan seseorang yang terjun ke dalam laut. Gelombang suara juga digunakan untuk menentukan arah dan untuk komunikasi. Sebagai contoh, dua paus yang terpisah ratusan kilometer bisa berkomunikasi melalui suara.
Pertanyaan tentang bagaimana hewan-hewan ini menghasilkan suara yang membuat mereka mampu menentukan arah atau berkomunikasi masih belum terpecahkan. Sejauh yang kita ketahui, satu ciri pada tubuh lumba-lumba pantas mendapat perhatian khusus: yaitu, tengkorak hewan ini terisolasi dari suara, suatu ciri yang melindungi otak dari gangguan bunyi yang terus menerus dan intensif.
Sekarang mari kita pikirkan pertanyaan berikut: Apakah mungkin semua ciri mengagumkan pada mamalia laut ini menjadi ada melalui seleksi alam dan mutasi? Mutasi seperti apa yang bisa menghasilkan sistem sonar pada tubuh lumba-lumba dan otak yang terisolasi dari suara? Mutasi seperti apa yang bisa memungkinkan mata mereka mampu melihat di kegelapan air? Mutasi apa yang bisa menghasilkan mekanisme yang memungkinkan penggunaan air paling efektif?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak akan ada akhirnya, dan evolusi tidak memiliki jawaban bagi pertanyaan manapun. Sebagai gantinya, teori evolusi membuat suatu cerita yang tak bisa dipercaya. Pikirkanlah segala kebetulan yang ada dalam semua cerita mengenai mamalia laut ini. Pertama-tama, ikan secara kebetulan muncul di air. Selanjutnya, mereka melakukan peralihan ke darat semata-mata secara kebetulan. Setelah itu, mereka berevolusi di darat menjadi reptilia dan mamalia, juga karena kebetulan belaka. Akhirnya, terjadilah dengan begitu saja bahwa beberapa dari makhluk ini kembali ke air di mana secara kebetulan mereka memperoleh semua ciri-ciri yang diperlukan untuk bertahan hidup di sana.
Bisakah teori evolusi membuktikan satu saja dari tahapan ini? Tentu saja tidak bisa. Jauh dari bisa menjelaskan pernyataan ini secara keseluruhan, teori evolusi bahkan tidak bisa menunjukkan bagaimana salah satu dari berbagai tahapan ini bisa terjadi.

Skenario Mamalia Laut itu Sendiri
Sejauh ini kita telah menelaah skenario evolusionis bahwa mamalia laut berevolusi dari mamalia darat. Bukti ilmiah menunjukkan tidak ada hubungan antara dua mamalia darat (Pakicetus dan Ambulocetus) yang diajukan evolusionis dalam permulaan cerita ini. Lalu bagaimana dengan bagian lain dari skenario ini? Di sini, teori evolusi kembali berada dalam kesulitan besar. Teori ini mencoba membangun hubungan kekerabatan antara Archaeocetea (paus kuno), mamalia laut yang diketahui telah punah, dengan paus dan lumba-lumba hidup. Akan tetapi, ahli paleontologi evolusi, Barbara J. Stahl mengakui bahwa, "ciri tubuh seperti ular dan gigi samping tajam yang unik ini memperjelas bahwa archaeoceta ini tidak mungkin menjadi nenek moyang bagi paus moderen." 169
Penjelasan evolusionis mengenai asal usul mamalia laut menghadapi kebuntuan besar dalam bentuk penemuan-penemuan di bidang biologi molekuler. Skenario evolusionis klasik beranggapan bahwa dua kelompok utama paus, paus bergigi (Odontoceti) dan paus ber-baleen (Mysticeti), berevolusi dari satu nenek moyang. Namun Michael Milinkovitch dari University of Brussels telah menentang pandangan ini dengan teori baru. Ia menekankan bahwa anggapan ini, yang berdasarkan pada kemiripan anatomis, telah terbantahkan oleh penemuan molekuler:
Hubungan evolusi di antara kelompok-kelompok utama cetacea menjadi lebih bermasalah karena analisa morfologis dan molekuler mencapai kesimpulan yang sangat berbeda. Sesungguhnya, berdasarkan pada tafsiran konvensional dari kumpulan data morfologis dan perilaku, paus bergigi yang ber-ekolokasi (sekitar 67 spesies) dan paus ber-baleen yang makan dengan menyaring (10 spesies) dianggap sebagai dua kelompok monofiletik yang berbeda… Di lain pihak, analisa filogenetik dari rangkaian DNA… dan asam amino… bertentangan dengan pengelompokan taksonomi yang telah lama diterima ini. Satu kelompok paus bergigi, paus sperm, terlihat lebih berkerabat dengan paus ber-baleen, yang secara morfologis jauh berbeda, daripada dengan odontoceta yang lain. 170
Singkatnya, mamalia laut tidak mengikuti skenario evolusi yang dipaksakan terhadap mereka.
Bertentangan dengan pernyataan ahli paleontologi, Hans Thewissen, yang berperan penting dalam propaganda evolusionis mengenai asal usul mamalia laut, [berkata:] kita tidak melihat proses evolusi yang didukung oleh bukti empiris, tetapi oleh bukti yang dipaksakan untuk sesuai dengan pohon kekerabatan evolusi yang telah dikira-kira sebelumnya, meskipun banyak pertentangan di antara keduanya.
Apa yang kemudian muncul, jika bukti tersebut dilihat secara lebih obyektif, adalah bahwa kelompok makhluk hidup yang berbeda muncul secara sendiri-sendiri di masa lampau. Ini adalah bukti empiris yang nyata untuk menerima bahwa semua binatang ini telah diciptakan.

PERBEDAAN MORFOLOGIS BESAR DI ANTARA HEWAN-HEWAN YANG
DINYATAKAN TELAH BERASAL DARI SATU SAMA LAIN
Sejauh ini, kita telah melihat bahwa aneka spesies muncul di bumi tanpa "bentuk peralihan" evolusif. Spesies-spesies itu tampak dalam catatan fosil dengan perbedaan-perbedaan besar sehingga mustahil membangun kaitan evolusi di antara mereka.
Ketika kita membandingkan struktur kerangka spesies-spesies ini, fakta ini sekali lagi tampak dengan jelas. Hewan-hewan yang dikatakan berkaitan evolusi sangat berbeda. Kini kita akan menelaah beberapa contoh. Semua gambar diambil dari buku-buku evolusionis oleh para pakar vertebrata. (Sebagaimana juga diperbandingkan oleh Michael Denton di dalam bukunya Evolution: A Theory in Crisis, 1986)
Dua spesies reptil laut, dan hewan darat yang dinyatakan para evolusionis sebagai moyang terdekatnya. Perhatikan perbedaan sangat besar di antara ketiganya.



Reptil laut Mesosaurus, disangkakan telah berevolusi dari Hylonomus.


Reptil laut Ichthyosaurus, disangkakan telah berevolusi dari Hylonomus.

Hylonomus, reptil laut tertua yang diketahui.

Burung tertua yang diketahui (Archaeopteryx), reptil terbang, dan reptil darat yang dinyatakan evolusionis sebagai moyang terdekat hewan-hewan ini. Perbedaan di antara ketiganya sangat besar.


1. Archaeopteryx, burung tertua yang diketahui.


2. Dimorphodon, salah satu reptil terbang tertua yang diketahui, contoh biasa kelompok ini.

3. Reptil darat Euparkeria, dinyatakan oleh banyak tokoh evolusionis sebagai moyang burung dan reptil terbang.

Kelelawar tertua yang diketahui, dan yang dinyatakan evolusionis sebagai moyang terdekatnya. Perhatikan perbedaan besar antara kelelawar dan makhluk yang dinyatakan sebagai moyangnya.


1. Kerangka kelelawar tertua yang diketahui (Icaronycteris) dari Zaman Eosen.

2. Cucurut masa kini, yang memiliki kesamaan sangat dekat dengan pemakan serangga kuno yang dinyatakan sebagai moyang kelelawar.

Plesiosaurus, reptil laut tertua yang diketahui, dan kerabat darat terdekatnya menurut evolusionis. Tiada kemiripan di antara keduanya.



1. Kerangka Plesiosaurus tertua yang diketahui.

2. Kerangka Araeoscelis, reptil Zaman Perm Awal.

Paus awal dan yang dinyatakan evolusionis sebagai moyang terdekatnya. Perhatikan bahwa tiada kesamaan di antara keduanya. Bahkan calon terbaik yang telah ditemukan oleh evolusionis sebagai moyang paus tak berkaitan sama sekali dengan ikan ini.
1. Contoh biasa paus tertua yang diketahui, Zygorhiza kochii, dari Zaman Eosen.

2. Moyang paus adalah bahan perdebatan di kalangan tokoh evolusionis, tetapi sebagian mereka telah memutuskan Ambulocetus. Gambar di samping adalah Ambulocetus, sejenis tetrapoda biasa.

Kerangka anjing laut biasa, dan yang dipercayai evolusionis sebagai moyang darat terdekatnya. Lagi, ada perbedaan besar di antara keduanya.



1. Kerangka anjing laut masa kini, sebenarnya sama dengan anjing laut tertua yang diketahui dari Zaman Miosen.
2. Cynodictis gregarius, mamalia darat pemakan daging yang dipercaya evolusionis sebagai moyang terdekat anjing laut.

Sapi laut, dan makhluk yang dikatakan evolusionis sebagai moyang darat terdekatnya.



1. Halitherium, sapi laut awal dari Zaman Oligosen.
2. Hyrax, yang dianggap sebagai moyang darat terdekat dari sirenia (mamalia air bertubuh besar pemakan tetumbuhan) yang mencakup juga sapi laut.

Kesimpulan
Semua penemuan yang telah kita telaah sejauh ini mengungkap bahwa spesies muncul di muka bumi secara tiba-tiba dan sempurna, tanpa ada proses evolusi terlebih dahulu. Jika memang demikian, maka inilah bukti nyata bahwa makhluk hidup telah diciptakan, seperti yang telah diakui oleh ahli biologi evolusio Douglas Futuyama. Ingat ketika ia menulis: "Jika mereka memang muncul dalam keadaan yang telah berkembang sempurna, mereka tentunya telah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang Maha Kuasa." 171 Evolusionis, di lain pihak, mencoba menafsirkan urutan kemunculan makhluk hidup di muka bumi sebagai bukti evolusi. Namun, karena proses evolusi semacam itu tidak pernah terjadi, urutan ini hanya bisa diartikan sebagai suatu urutan penciptaan. Fosil-fosil mengungkap bahwa makhluk hidup muncul di muka bumi pertama kali di laut, dan kemudian di daratan, diikuti oleh kemunculan manusia, yang memiliki desain yang sempurna dan di atas semuanya

106 John Ostrom, "Bird Flight: How Did It Begin?," American Scientist, Januari-Februari 1979, vol. 67, h. 47.
107 Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h. 314.
108 Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari 1997, h. 28.
109 Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari 1997, h. 28.
110 Duane T. Gish, Dinosaurs by Design, Master Books, AR, 1996, h. 65-66.
111 Michael Denton, A Theory in Crisis, Adler & Adler, 1986, h. 210-211.
112 Michael Denton, A Theory in Crisis, Adler & Adler, 1986, h. 211-212. (tanda penegasan ditambahkan)
113 J. A. Ruben, T. D. Jones, N. R. Geist, and W. J. Hillenius, "Lung Structure And Ventilation in Theropod Dinosaurs and Early Birds," Science, vol. 278, h. 1267.
114 Michael J. Denton, Nature's Destiny, Free Press, New York, 1998, h. 361.
115 Michael J. Denton, Nature's Destiny, Free Press, New York, 1998, h. 361-62.
116 Barbara J. Stahl, Vertebrate History: Problems in Evolution, Dover, 1985, h. 349-350. (tanda penegasan ditambahkan)
117 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, vol. 9, 1996, h.132.
118 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, vol. 9, 1996, h.131.
119 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, vol. 9, 1996, h.133.
120 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers," Journal of Evolutionary Biology, vol. 9, 1996, h.131.
121 Alan Feduccia, "On Why Dinosaurs Lacked Feathers," The Beginning of Birds, Eichstatt, West Germany: Jura Museum, 1985, h. 76. (emphasis added)
122 Ernst Mayr, Systematics and the Origin of Species, Dove, New York, 1964, h. 296.
123 Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason, Harvard Common Press, 1971, h. 131.
124 Nature, vol. 382, Agustus, 1, 1996, h. 401.
125 Carl O. Dunbar, Historical Geology, John Wiley and Sons, New York, 1961, h. 310.
126 Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, h. 280-81.
127 L. D. Martin, J. D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, vol. 97, 1980, h. 86.
128 L. D. Martin, J. D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, vol. 97, 1980, h. 86; L. D. Martin, "Origins of the Higher Groups of Tetrapods", Ithaca, Comstock Publishing Association, New York, 1991, h. 485-540.
129 S. Tarsitano, M. K. Hecht, Zoological Journal of the Linnaean Society, vol. 69, 1980, h. 149; A. D. Walker, Geological Magazine, vol. 117, 1980, h. 595.
130 A.D. Walker, as described in Peter Dodson, "International Archaeopteryx Conference," Journal of Vertebrate Paleontology 5(2):177, Juni 1985.
131 Richard Hinchliffe, "The Forward March of the Bird-Dinosaurs Halted?," Science, vol. 278, no. 5338, 24 Oktober 1997, h. 596-597.
132 Jonathan Wells, Icons of Evolution, Regnery Publishing, 2000, h. 117
133 Richard L. Deem, "Demise of the 'Birds are Dinosaurs' Theory,"http://www.yfiles.com/dinobird2.html.
134 Pat Shipman, "Birds do it... Did Dinosaurs?," New Scientist, 1 Februari, 1997, h. 31.
135 "Old Bird," Discover, 21 Maret 1997.
136 "Old Bird," Discover, 21 Maret 1997.
137 Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?," h. 28.
138 Ann Gibbons, "Plucking the Feathered Dinosaur," Science, vol. 278, no. 5341, 14 November 1997, h. 1229 - 1230
139 National Geographic, Vol. 196, No. 5, November 1999, "Feathers for T. Rex?"
140 Tim Friend, "Dinosaur-bird link smashed in fossil flap," USA Today, 25 Januari 2000
141 "Open Letter: Smithsonian decries National Geographic's "editorial propagandizing" of dinosaur-to-bird "evolution," http://www.trueorigin.org/ birdevoletter.asp
142 M. Kusinitz, Science World, 4 Februari 1983, h. 19.
143 San Diego Union, New York Times Press Service, 29 Mei 1983; W. A. Shear, Science, vol. 224, 1984, h. 494. (tanda penegasan ditambahkan)
144 R. J. Wootton, C. P. Ellington, "Biomechanics & the Origin of Insect Flight," Biomechanics in Evolution, ed. J. M. V. Rayner & R. J. Wootton, Cambridge University Press, Cambridge, 1991, h. 99.
145 Robin J. Wootton, "The Mechanical Design of Insect Wings," Scientific American, vol. 263, November 1990, h. 120. (tanda penegasan ditambahkan)
146 Pierre-P Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h. 30. (tanda penegasan ditambahkan)
147 George Gamow, Martynas Ycas, Mr. Tompkins Inside Himself, The Viking Press, New York, 1967, h. 149.
148 Roger Lewin, "Bones of Mammals, Ancestors Fleshed Out," Science, vol. 212, Juni 26, 1981, h. 1492. (tanda penegasan ditambahkan)
149 George Gaylord Simpson, Life Before Man, Time-Life Books, New York, 1972, h. 42. (tanda penegasan ditambahkan)
150 R. Eric Lombard, "Review of Evolutionary Principles of the Mammalian Middle Ear, Gerald Fleischer," Evolution, vol. 33, Desember 1979, h. 1230.
151 George G., Simpson, Tempo and Mode in Evolution, Columbia University Press, New York, 1944, h. 105, 107.
152 Boyce Rensberger, Houston Chronicle, November 5, 1980, h. 15. (tanda penegasan ditambahkan)
153 Niles Eldgridge, quoted in Darwin's Enigma by Luther D. Sunderland (Santee, CA, Master Books, 1988), page 78.)
154 Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, New American Library, New York, 1982, h. 16-17, 19.
155 Francis Hitching, The Neck of the Giraffe: Where Darwin Went Wrong, New American Library, New York, 1982, h. 16-17, 19.
156 Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, h. 230. (tanda penegasan ditambahkan)
157 John E. Hill, James D Smith, Bats: A Natural History, British Museum of Natural History, London, 1984, h. 33. (tanda penegasan ditambahkan)
158 L. R. Godfrey, "Creationism and Gaps in the Fossil Record," Scientists Confront Creationism, W. W. Norton and Company, 1983, h. 199.
159 Jeff Hecht, "Branching Out," New Scientist, 10 Oktober 1998, vol. 160, no. 2155, h. 14.
160 Douglas H. Chadwick, "Evolution of Whales," National Geographic, November 2001, h. 68.
161 Robert L. Carroll, Patterns and Process of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1998, h.329.
162 Ashby L. Camp, "The Overselling of Whale Evolution," Creation Matters, a newsletter published by the Creation Research Society, Mei/Juni 1998.
163 Douglas H. Chadwick, "Evolution of Whales," National Geographic, November 2001, h. 73.
164 Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1998, h. 329.
165 G. A. Mchedlidze, General Features of the Paleobiological Evolution of Cetacea, trans. from Russian (Rotterdam: A. A. Balkema, 1986), h. 91.
166 Ashby L. Camp, "The Overselling of Whale Evolution," Creation Matters, a newsletter published by the Creation Research Society, Mei/Juni 1998.
167 Douglas H. Chadwick, "Evolution of Whales," National Geographic, November 2001, h. 69.
168 Henry Gee, In Search Of Deep Time: Beyond The Fossil Record To A New History Of Life, The Free Press, A Division of Simon & Schuster Inc., 1999, h. 103.
169 B.J. Stahl, Vertebrate History: Problems in Evolution, Dover Publications Inc., 1985, h. 489.
170 Michel C. Milinkovitch, "Molecular phylogeny of cetaceans prompts revision of morphological transformations," Trends in Ecology and Evolution, 10 Agustus 1995, h. 328-334.
171 Douglas J. Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York, 1983, h. 197.

0 komentar:

Posting Komentar

  • description
  • description
  • description
  • description
  • description

Video Gallery